NEGARA DAN AGAMA
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai.Todak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiraan maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karna keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Kami untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
Judul Halaman………………………………………………………………………………..i
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………ii
DaftarIsi……………………………………………………………………………………iii
Bab I Pendahuluan …………………………………………………………….4
a. latar belakang ……………………………………………............4
Bab II Pembahasan
………………………………………………………….6
B. Sistem
Pemerintahan………………………………………………6
Bab III Penutup ……………………………………………………………….9
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………10
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kajian pemikiran politik Islam, maka terdapat dua polarisasi kecenderungan dalam melihat hubungan negara dan agama. Yang pertama melihat bahwa negara tidak berhubungan dengan agama seperti gagasan ‘Āli Abd al-Rāziq di Mesir (Al- Rāziq, 1993), dan yang kedua mengaitkan agama dan negara. Pada yang terakhir ini, berimplikasi bahwa nilai-nilai agama dapat dijadikan panduan dalam merumuskan kehidupan berbangsa dan bernegara (Syazadli, 1993).
Kelihatannya, umat Islam dewasa ini masih mempersoalkan serangkaian polemik dan perdebatan mengenai hubungan agama dengan negara. Persoalan tersebut diawali dengan terjadinya revolusi kaum muda Turki di bawah pimpinan Mushthāfa Kemal Pasya, yang puncaknya ditandai dengan penghapusan khilāfah dan diikuti pencabutan Islam sebagai agama resmi negara, serta penghapusan syariat sebagai sumber hukum tertinggi negara. Akhirnya, Turki lahir sebagai sebuah republik sekular yang dengan tegas memisahkan antara urusan keagamaan dan urusan kenegaraan.
Al-Mawdūdi, pemikir kontemporer mengatakan bahwa Islam suatu agama yang sangat lengkap memuat prinsip-prinsip yang lengkap mengenai semua segi kehidupan meliputi etika, moral, politik, sosial dan ekonomi. Islam dipahami bukan hanya sebagai suatu keyakinan, tetapi suatu sistem yang lengkap dan mencakup seperangkat jawaban terhadap persoalan yang dialami oleh umat manusia (Azhar, 1996). Sementara itu, Ibnu Khaldūn melihat bahwa peranan agama sangat diperlukan dalam menegakkan negara, agama berperan dalam upaya menciptakan solidaritas di kalangan rakyat, rasa solidaritas itu akan mampu menjauhkan persaingan yang tidak sehat, seluruh perhatiannya terarah kepada kebaikan dan kebenaran.
Agama pula tujuan solidaritas itu menjadi satu. Apa yang diperjuangkan bersama itu adalah untuk semua warga dan semuanya siap untuk mengorbankan jiwa untuk mencapai tujuannya. Sedangkan Mushthāfa Kemal al-Tattūr menyatakan bahwa agama dan negara memiliki korelasi, namun dalam pengelolaan urusan agama dan negara harus terpisah, karena itu ia menjadikan negara Turki sebagai negara sekular yang memisahkan urusan dunia dengan urusan negara (Nasution, 1994).
Untuk mengetahui lebih mendalam hubungan antara negara dan agama dalam perspektif Islam, maka perlu dikaji ayat-ayat Alquran secara akurat dan mengaitkannya dengan si>rah Nabi saw dalam membangun negara Madani. Di samping itu, berbagai pandangan dan sikap-sikap tokoh-tokoh Islam atau ulama-ulama terkemuka, sangat perlu dicermati secara komprehensif. Dengan upaya seperti ini, maka akan dapat dirumuskan hubungan negara dan agama itu sendiri dalam berbagai aspeknya. Pada sisi lain, persoalan tentang hubungan negara dan agama sangat penting untuk dibahas, karena persoalan tersebut kelihatannya masih menjadi perdebatan yang alot dalam pemikiran Islam.
Dari uraian permasalahan yang telah dipaparkan, tergambar bahwa hubungan negara dan agama merupakan masalah yang sangat aktual dalam wacana pemikiran Islam. Dengan demikian, masalah tersebut sangat menarik untuk dikaji secara cermat dan mendalam. Kaitannya dengan itu, maka permasalahan yang dijadikan objek pembahasan dalam kajian ini adalah diawali dengan pengertian komprehensif mengenai negara dan agama dalam konsepsi Islam, kemudian mengungkap berbagai pandangan ulama mengenai korelasi agama dan negara, dan selanjutnya merumuskan pemikiran tentang rekonsiliasi Islam dan demokrasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Negeri yang juga dapat diartikan negara (al-bilād), disebut dalam Alquran dengan berbagai bentuknya sebanyak 19 kali dengan perincian: kata balada disebut sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata bilādi 5 kali, sedangkan kata baldatun disebut sebanyak 5 kali (Al-Bāqy, 1992), yang kesemuanya berarti negara/negeri.
Berkaitan dengan ayat-ayat di atas, maka dapat dipahami bahwa masalah negara memang ada dalilnya dalam Alquran. Namun, dari dalil-dalil tersebut tidak ditemukan pengertian negara secara akurat. Karena itu, Muhammad Izzat Darwazah dalam mengelompokkan ketika mengelompokkan ayat-ayat tentang negara, ia berkesimpulan bahwa di dalam Alquran tidak terdapat ayat yang menyebut sistem dan bentuk negara dalam Islam (Pulungan, 1996). Berdasar pada kesimpulan ini, maka untuk menemukan pengertian negara dalam perspektif Islam, terlebih dahulu harus merujuk pada unsur- unsur negara itu sendiri. Dalam hal ini, al-Mawardi menyebutkan unsur-unsur negara sebagai berikut:
1. Di dalam negara ada agama yang dihayati. Agama yang diperlukan sebagai pengendali hawa nafsu dan pengawas melekat atas hati manusia, karenanya merupakan sendi sekaligus unsur yang terkuat bagi kesejahteraan dan ketenangan negara.
2. Di dalam negara, ada penguasa yang berwibawa. Dengan wibawanya dia dapat mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda, dan membina negara untuk mencapai sasaran-sasarannya yang luhur.
3. Di dalam negara, harus ada keadilan yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan akan menciptakan persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negara yang akhirnya mengamankan kedudukan penguasa serta menjamin stabilitas dalam negeri.
4. Di dalam negara, harus tercipta keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan, rakyat dapat menikmati ketenangan batin, inisiatif dan daya kreasi akan berkembang di kalangan rakyat.
5. Di dalam negara, terwujud kesuburan tanah. Dengan kesuburan tanah, kebutuhan rakyat akan bahan makanan dan kebutuhan materi yang lain dapat terpenuhi, dan dengan demikian dapat dihindarkan perebutan dengan segala akibat buruknya.
6. Di dalam negara, ada generasi. Generasi sekarang punya kaitan erat dengan generasi yang akan datang, maka generasi sekarang pewaris generasi yang lalu. Karenanya harus dipersiapkan generasi yang bersikap optimisme (Al-Mawardi, 1990).
Berdasar dari pernyataan di atas, maka negara dalam perspektif Islam menurut rumusam penulis adalah suatu daerah kekuasaan yang memiliki batas-batas wilayah, di dalam wilayah tersebut ada kelompok, persekutuan manusia yang beragama, ada penguasa, ada keadilan dan tercipta suasana yang aman, kesuburan tanah, serta ada generasi pelanjut.
Dengan merujuk pada pengertian negara yang telah ditetapkan, terungkap bahwa salah unsur terpenting dalam suatu negara adalah agama itu sendiri. Dengan adanya agama, maka tercipta keadilan dan suasana yang aman. Pada sisi lain, ajaran agama juga memotivasi penganutnya untuk menjadikan negara yang dihuninya menjadi subur, dan mereka yang ditugasi dalam pengelolaan negara adalah para generasi sekarang dan mendatang. Jadi, kelihatan bahwa agama merupakan unsur terpenting dalam sebuah negara menurut perspektif Islam.
Berkaitan dengan ini, Qashim Mathar juga menyatakan bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah sama dengan Tuhannya agama Islam. Dalam hal ini, beliau menyatakan:
…. di dalam agama Islam dikenal 99 nama Tuhan Allah. semua nama-nama Tuhan itu disebut oleh Al-Quran sebagai al-asma al-husna atau nama-nama yang baik… Dia [Allah swt. pen] disebut dengan nama apa saja oleh siapa saja dan dengan bahasa apa saja, asal yang mereka dimaksud adalah Dia [Allah swt. pen], sebagaimana dijelaskan oleh rasul atau nabi-nabi-Nya, hendaknya diterima secara arif…dan mereka sama dengan kita (Mathar, 2004).
Berdasar pada pendapat-pendapat sebelumnya, dan dengan berdasar pula pada kutipan di atas, dipahami bahwa semua agama yang menganggap bahwa “Tuhan itu Esa” menurut kutipan di atas, adalah sama dengan Tuhannya agama Islam. Tuhan yang disembah oleh Islam, itu pula Tuhan yang disembah oleh agama lain. Menurut penulis bahwa pendapat demikian, didasarkan pada kenyataan sejarah dan informasi Alquran sendiri bahwa semua umat sebelum diutusnya Nabi saw telah diutus kepada mereka rasul-rasul (QS Fāthir/35: 24). Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak diinformasikan oleh Alquran (QS al-Nisā/4: 164; QS Ghāfir/40: 78). Dari sini, dipahami bahwa pemeluk agama-agama yang ada sekarang, tidak mustahil bahwa ajarannya bersumber pula dari Allah swt.
Agama diturunkan oleh Allah swt, berfungsi sebagai pembimbing dan pemberi petunjuk. Dengan fungsi seperti ini, maka agama memiliki tujuan untuk memberi keselamatan dan kebahagiaan yang abadi kepada penganutnya, sehingga hidupnya menjadi tenteram (al-amn), baik di dunia maupun di akhirat kelak. Fungsi-fungsi agama tersebut, tentu pula mencakup untuk kesejahteraan dan kedamaian masyarakat dalam sebuah negara, bilamana penganutnya menjalankan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
Menurut ‘Āli Abd. al-Rāziq bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, pola pemerintahan khilāfah itu tidak perlu, karena risālah atau misi kenabian dengan pemerintahan memiliki perbedaan. Risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama itu bukan negara (Al-Rāziq, 1993). Selanjutnya, Thāha Husein (dalam Syazadli, 1993) menjelaskan bahwa kejayaan dan kemakmuran dunia Islam dapat terwujud kembali bukan dengan jalan kembali pada ajaran Islam yang lama, dan juga bukan mengadakan reformasi atau pembaruan ajaran Islam, tetapi dengan perubahan-perubahan total yang bernafas liberal dan sekular dengan berkiblat ke Barat. Ia juga menegaskan bahwa dari awal sejarah Islam, agama dan negara selalu terpisah.
Pandangan atau aliran yang ketiga menolak pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap, menolak pula bahwa Islam terdapat sistem kenegaraan, tetapi pandangan ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Pandangan ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Ulama atau tokohnya yang tekenal antara lain Muhammad Husain Haikal.
Gagasan Soekarno tersebut dimuat dalam Panji Islam Nomor 12 tanggal 25 Maret 1940 dengan judul “Memudahkan Pengertian Islam”. Dalam artikelnya tersebut, Soekarno mengecam sikap taqlid dan menyatakan ketidaksetujuannya pada hukum fiqh. Ia mengajak untuk melakukan interpretasi ajaran Islam dengan menggunakan rasio, Islam bisa berkembang apabila ada kemerdekaan roh, kemerdekaan akal dan kemerdekaan ilmu pengetahuan. Namun yang lebih mengejutkan bahwa dia kelihatannya hendak meniru modernisasi di Turki seperti yang dilakukan Kemal al-Tattūr pada waktu memimpin revolusi kaum muda yang menghapuskan lembaga khilāfat, dalam usahanya memajukan Turki memisahkan agama dalam kehidupan negara serta menghapuskan syariat sebagai sumber hukum agama tertinggi dalam negara.
BAB III
PENUTUP
Berdasar pada uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Hubungan antara negara dan agama sangat erat dan terkait dalam berbagai aspeknya. Negara dalam perpektif Islam, disebut dengan al-bilād dan wilayah kekuasaannya disebut dengan al-dawlah. Dengan merujuk pada kedua term ini yang bersumber dari Alquran, maka unsur terpenting dalam suatu negara adalah agama itu sendiri yang dalam perspektif Islam disebut dengan al-dīn dan atau al-millah, yakni syariat yang bersumber dari Tuhan dan berfungsi sebagai pem-bimbing dan pemberi petunjuk. Dengan fungsi seperti ini, maka tujuan pokok agama adalah keselamatan kepada masing-masing penganutnya, termasuk di dalamnya untuk kesejahteraan dan kedamaian masyarakat dalam sebuah negara.
2. Para ulama memiliki pandangan berbeda dalam masalah hubungan negara dan agama. Namun dari pandangan-pandangan mereka itu, dapat dirumuskan bahwa hubungan antara negara dan agama terlihat dalam aspek ketatanegaran dan demokrasi. Agama, dalam hal ini Islam, mewajibkan terbentuknya suatu negara dan memberi kelonggaran dalam hal bentuk dan pengaturan teknis masalah sosial-politik, bentuk dan susunan negara tidak wajib, yang penting bagaimana mengamalkan nilai-nilai ajaran agama itu sendiri dalam sebuah negara. Dengan kata lain, demokrasi dalam sebuah negara di pandang sebagai aturan politik yang paling layak, dan agama diposisikan sebagai wasit moral dalam mengaplikasikan demokrasi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, M. (1996). Filsafat Politik Perbandingan antara Islam dan Barat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Bellah, R. N. (1976). Islamic Traditions and Problems of Modernization. New York: Harper and Row.
Burga, M. A. (2019). Kajian Kritis tentang Akulturasi Islam dan Budaya Lokal. Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, 5(1), 1–20.
Depag RI. (2008). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Deartemen Agama RI. Firth, R. (1972). Encyclopedia Internasional. Phippines: Gloria Incorperation. Haikal, M. H. (1983). Al-Hukūmah al-Isla>miyah. Kairo: Dar al-ma’ārif.
Hamka, R. (1987). Studi Islam. Jakarta: Panjimas.
Hamzah, H. (2019). Problematika Pengoptimalan Potensi Wakaf Produktif di Kabupaten Bone. Ekspose: Jurnal Penelitian Hukum dan Pendidikan, 18(1), 741–752.
Ma’lūf, L. (1977). Al-Munjid fī al-Lughah. Bairūt: Dār al-Masyriq. Maarif, A. S. (1995). Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid, N. (1983). Cita-cita Politik Kita, dalam Bosco dan Dasrizal (ed.), Aspirasi Umat Islam Indonesia. Jakarta: Lappenas.
Mathar, M. Q. (2004). Allah=Yahweh dan Tionghoa=Cina. Harian Fajar, Selasa, 12 November 2004.




