Segala Sesuatu Tentang Ilmu Pemerintahan

Akademik Universitas Baturaja

Universitas Baturaja (UNBARA) merupakan satu-satunya Universitas di Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatera Selatan, yang berpartisipasi mendidik dan mencerdaskan anak bangsa

Profil Universitas Baturaja

Menjadi Universitas yang unggul dan berkarakter dalam penyelenggaraan Tridarma perguruan tinggi tahun 2030 (Being an outstanding and characterized university in the implementation of Tridarma in 2030), Quality statement : Unggul dan Berkarakter (An outstanding and characterized university)

Profil FISIP UNBARA

Menjadi Fakultas Yang Terakreditasi Baik Dalam Menghasilkan Sumberdaya Manusia Yang Berdaya Saing, Unggul Dan Berkarakter Pada Tahun 2018

Profil Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA

Menjadi Pusat Aktivitas Tridarma Perguruan Tinggi untuk Menciptakan Sumber Daya Manusia yang Berakhlak di Bidang Ilmu Pemerintahan dalam rangka Terwujudnya Democratic Governance

Akreditasi Ilmu Pemerintahan UNBARA

Akreditasi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Baturaja dari Ban-PT adalah B sejak tahun 2017, dan tetap terakreditas B sampai dengan tahun 2027

Saturday, August 12, 2023

PERAN PARTAI POLITIK MENGATASI POLITIK IDENTITAS DALAM PEMILU

PERAN PARTAI POLITIK MENGATASI POLITIK IDENTITAS DALAM PEMILU

 

ABSTRAK

 

Pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat yang akan menjadi agenda politik untuk memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, tetapi pada realitasnya Pemilu seringkali menjadi ruang perpecahan masyarakat karena fenomena politik identitas yang ditunggangi oleh partai politik dan substansi hukum Pemilu yang dapat melahirkan politik identitas, maka studi ini hendak mengidentifikasi penyebab terbentuknya fenomena politik identitas yang ditunggangi oleh partai politik dan mengkaji bagaimana peran partai politik untuk mengatasi adanya fenomena partai politik. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian hukum socio legal yaitu penelitian hukum yang menggunakan pendekatan interdisipliner seperti studi politik dan studi sosial. Data akan dikumpulkan melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, pengamatan. Hasil penelitian ini menunjukan penyebab terbentuknya politik identitas bermula dengan terjadinya ketegangan antara kelompok mayoritas dan minoritas yang memicu terjadinya konflik keragaman seperti konflik antar etnis,budaya, ras dan antar agama yang ditunggangi oleh partai politik serta rezim presidential threshold yang mengakibatkan pembelahan ekstrim di tengah masyarakat dan untuk mengatasinya dengan pendidikan politik oleh partai politik yang berbasis populisme Pancasila serta rekonstruksi hukum Pemilu untuk menghapus rezim presidential threshold dan pembentukan sistem pendidikan politik di masa Pemilu.

Kata Kunci: Politik identitas, Partai politik, Hukum pemilu.

 

THE ROLE OF POLITICAL PARTIES OVERCOMING IDENTITY POLITICS IN ELECTIONS

 

ABSTRACT

Elections are a means of people's sovereignty, which will become a political agenda to provide chance for public participation in government, but in reality elections often become a cause of societal dispute due to the phenomenon of identity politics ridden by political parties and the legal substance of elections, which will generate identity politics. This study will be identify the causes of the formation of the phenomenon of identity politics ridden by political parties and examine how the role of political parties is to overcome the phenomenon of political parties. This article uses the sociolegal legal research method, namely legal research that uses an interdisciplinary approach such as political studies and social studies. Data will be collected through literature studies, regulations, observation. The results of this study indicate that the cause of the formation of identity politics begins with tensions between the majority and minority community groups, which trigger diversity conflicts such as inter-ethnic, cultural, racial, and inter religion conflicts ridden by political parties and the presidential threshold regime, which result in extreme disunity in society. The ways to overcome this conflicts are with implementing the political education by political parties based on Pancasila populism and the reconstruction of election law to remove the presidential threshold rezim and establish of a political education system during elections stages.

Keywords: Identity politics, Political parties, Election law

 

PENDAHULUAN

Aspek integrasi bangsa merupakan prinsip yang tak terpisahkan dalam suatu alam demokrasi Indonesia. Sebab, demokrasi menghendaki persatuan dalam wujud adanya kesalingberterimaan pasca “konflik” antar komponen anak bangsa[1]. Perjalanan Mahkamah Kontitusi mengawal Pemilu yang demokratis, jika dianalisis beberapa putusan Mahkamah Konstitusi salah satunya Putusan No.011-017/PUU-1/2003 dapat dipahami bahwa dalam konteks Indonesia prinsip persatuan menjadi salah satu prinsip yang harus dipenuhi untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis. Akan tetapi, dalam konstelasi politik kontemporer Indonesia, terjadi fenomena politik identitas dengan gerakan populisme berbasis agama, suku, RAS, dan antargolongan (SARA), yang tumbuh subur saat tahun-tahun menjelang Pemilu, termasuk ditahun 2023 ini[2]. Fenomena ini menggunakan ujaran kebencian untuk tujuan memecah belah masyarakat dalam kompetisi elektoral[3].

Isu politik identitas sudah merebak di Amerika Serikat pada Tahun 1970-an yang berbasis pada masalah minoritas, feminism, gender, etnisitas, ras dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang merasa termarginalkan dan teraniaya. Dalam perkembangannya fenomena politik identitas meluas mencakup masalah kepercayaan, agama dan kultural yang beragam[4].

Sebagai negara berdaulat dan memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, Indonesia memiliki identitas nasional sebagai pembeda dari negara lain. Identitas nasional merupakan faktor yang sangat penting terhadap kelangsungan hidup dan eksistensi suatu negara. Identifikasi terhadap identitas nasional Indonesia cukup sulit, sebab Indonesia merupakan negara multikultural dan multi agama yang sudah hidup bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka (Tatu, 2018). Praktik Politik identitas yang disuarakan dengan dasar kesamaan identitas seringkali menciptakan ketegangan antara yang mengaku mayoritas dengan minoritas, seperti yang terjadi di Indonesia, paradigma demokrasi liberal yang mengagungkan Pancasila diantara prinsip lainnya membuat eksistensi agama sebagai hal substantif dianggap ancaman bagi kehidupan plural Indonesia[5]. Suku, Rasa dan Agama yang mewujudkan diri sebagai identitas nasional, memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan multikulturalisme di Indonesia.(Tutut, 2016).

Praktik di Indonesia, penyebab munculnya politik identitas ialah karena persoalan fundamentalisme agama, etnisitas, ideologi dan kepentingan-kepentingan yang umumnya dikendalikan oleh para elit dengan setiap artikulasinya masing-masing[6]. Identitas dalam masyarakat dipolitisasi semata-mata untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan politik. Praktik tersebut selaras dengan pengertian politisasi (politicitzation) merupakan suatu proses akuisis kapital politik oleh kelompok, maupun institusi atau kegiatan yang bertujuan untuk mencapai kepentingan mengamankan kekuasaan[7]. Praktik ini menyebabkan terjadinya instabilitas politik karena perpecahan masyarakat dan melemahnya nilai demokrasi.

Nalar demokrasi dicederai dengan praktik politisasi agama dalam agenda politik seperti Pemilu, Politik identitas berbasis pada agama dan etnis mencapai kulminasinya pada periode pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017, ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi kandidasi calon Gubernur Jakarta menjadi objek sentimen berbau agama dan etnis yang dimainkan oleh pesaingnya sebagai senjata kapital politik dalam kompetisi elektoral[8]. Bias dari Pilkada Jakarta, fenomena politik identitas pun terjadi di beberapa daerah seperti di Pilkada Sumatera Utara 2018 yang diwarnai sentimen etnis karena salah satu calon gubernur Djarot Saiful Hidayat berasal dari Jawa, bahkan isu agama dengan spanduk “larangan memilih pemimpin kafir” bertebaran di jalan protokol Kota Medan karena Djarot pernah mendampingi Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang terseret kasus penistaan agama. (BBC Indonesia, 2018) Politisasi berbau SARA juga terjadi di Pilkada Kalimantan Barat, dengan modus operandi yang dilakukan Forum Umat Islam Bersatu menganggap pidato dari Cornelis Gubernur Kalbar saat itu menghina Islam mengatakan islam sebagai penjajah Indonesia yang paling lama, dan dilakukan di masa kampanye. Modus operandi ini juga dilancarkan berhubungan dengan pencalonan anaknya Karolin Margaret Natasa sebagai salah satu calon gubernur, kemudian terjadi kerusuhan dan aksi berbau sentimen agama dengan memanggang babi ditengah jalan pasca pemungutan suara[9].

Fenomena perusak integrasi bangsa ini bermula pada Pemilu 2014, Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai calon presiden menggunakan gerakan populis untuk memenangkan kompetisi Pilpres. Oleh para ahli, Jokowi dinilai sebagai “polite populism”[10] sedangkan Prabowo memanfaatkan peningkatan konservatisme Islam dan kemudian mengendalikan “Islamic populism”[11]. Fenomena ini terus berlanjut pada Pemilu 2019 ketika Jokowi dan Prabowo kembali menjadi kandidasi dalam Pilpres.

Dampak dari fenomena tersebut, terjadi polarisasi yang akut dalam masyarakat dan bahkan menghasilkan kekerasan fisik. Laju persebaran polarisasi, disebabkan oleh media sosial yang telah menjadi “senjata” yang menyebarkan narasi kebencian, ketakutan dan hoaks selama periode Pemilu. Data menunjukan, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), telah menangani ujaran kebencian berbasis SARA setidaknya sebanyak 3.640 konten kurun waktu tahun 2018 hingga awal tahun 2021. Diskriminasi SARA setidaknya memiliki porsi sebesar 62% dari total ujaran kebencian di ruang digital[12]. Selain itu, hasil analisis Twitter oleh Drone Emprit yang dimulai pada Juli 2015 hingga April 2022 juga menunjukan bahwa keywords “cebong”, “kampret”, “buzzerRp”, dan “kadrun” terus menunjukan trend di ruang digital tersebut. Total interaksi sejak Juli 2015 untuk semua keywords adalah 14.249.458 mention, yang puncaknya ketika Pemilu 2019 (Ismail, 2022).

Ternyata terbentuknya politik identitas pun bukan hanya berbicara konflik antara etnisitas, agama, suku dan ras, atau antara minoritas dan mayoritas namun hal itu bisa berangkat pula dari sebuah sistem pemerintahan sebuah Negara. Seperti kita ketahui Indonesia menganut sistem presidensial yang didalamnya adanya ambang batas untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold) yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yakni 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Mengapa demikian, sebuah konsep presidential threshold menjadi faktor lahirnya politik identitas karena akan terjadi kembali polarisasi seperti pada pemilihan umum 2019, dimana kita hanya diperhadapkan oleh dua pasangan calon yang mengakibatkan politik eksklusif dengan terbagi dua corong (kelompok) nasionalis dan agamais, bahkan hal tersebut sejalan dengan pandangan Jimly Asshiddiqie yang mengatakan pembelahan di tengah masyarakat akan terjadi jika dalam kontestasi Pemilu hanya menghadirkan dua pasang calon Presiden, seperti yang terjadi pada Pemilu 2019[13].

Problematik demokrasi di atas, sejatinya dapat ditanggulangi melalui peran partai politik, sebagai anak kandung demokrasi[14]. Parpol memiliki posisi (status) dan peranan (role) yang sangat esensial, sebagai penghubung strategis jalannya pemerintahan dengan warga negara (Asshiddiqie, 2014) dalam hal ini melakukan rekonstruksi hukum Pemilu untuk menghapus rezim presidential threshold serta merancang produk hukum Pemilu         yang dapat menciptakan Pemilu             inklusif. Kemudian,  Undang-Undang          Nomor 2                    Tahun 2011 tentang       Partai Politik mengamanatkan bahwa terdapat dua dari lima fungsi partai politik sebagai:

sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya  dalam  kehidupan  bermasyarakat,  berbangsa,  dan bernegara; dan penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat

Amanat normatif tersebut memberikan ruang bagi partai politik untuk menyelenggarakan pendidikan republikanisme-kebangsaan dan moderasi agama sebagai antitesis dari gerakan politik identitas atau populisme islam. Tinjauan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori politik hukum yang dikembangkan Mahfud MD yang menyatakan pada prinsipnya hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik melalui aktualisasi kelembagaan partai politik dalam proses legislasi di lembaga legislatif. Untuk mewujudkan cita-cita undang- undang yang demokratis, dalam sistem legislasi partai politik memiliki peran besar[15].    

Institusionalisasi            partai politik di parlemen memberikan kedudukan strategis bagi partai politik untuk memperbaharui produk hukum Pemilu yang membuka ruang politik identitas seperti norma ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Sebagaimana digambarkan sebelumnya, politik identitas dalam penelitian ini didefinisikan sebagai upaya untuk menggunakan, mengeksploitasi, atau memanipulasi identitas yang berbasis agama, etnik, atau penganut ideologi tertentu untuk menimbulkan opini atau stigma dari masyarakat dengan tujuan kepentingan politik pada agenda Pemilu[16]. Kemudian, mengacu pada pendapat Agnes Heller yang mendefinisikan politik identitas sebagai politik yang terfokus pada pembedaan sebagai kategori utamanya yang menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan bermain (free play), walaupun memunculkan pola- pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis[17].

Penelitian terdahulu terkait peran partai politik dalam mengatasi politik identitas dalam Pemilu pernah dituliskan oleh Isto Widodo[18] melalui artikel jurnal berjudul “Analisis Kelembagaan Baru Penanganan Muatan Kebencian Berbasis Politik Identitas di Internet di Indonesia: Sebuah Kajian Awal”, artikel tersebut membahas perspektif kelembagaan baru, bagaimana penanganan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap muatan kebencian berbasis politik identitas dan kelemahan dari penanganan terhadap ujaran kebencian berbasis politik identitas yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Kemudian penelitian kedua, oleh Susi Rohayati dkk (2020) dalam artikelnya yang berjudul “Implementasi Merit System Dalam Rekrutmen Partai Politik Untuk Menanggulangi Arus Politik Identitas di Indonesia”, yang membahas penyebab munculnya fenomena politik Identitas di Indonesia dan mekanisme merit system dalam rekruitmen Partai Politik. Kedua penelitian tersebut membahas penanganan politik identitas secara umum melalui peran partai politik, masyarakat, serta media massa dan secara spesifik melalui sistem kaderisasi dengan merit system.

Berdasarkan hal tersebut, maka studi ini memiliki unsur kebaruan

(novelty) dengan mengkaji penyebab terbentuknya fenomena politik identitas di tengah masyarakat pada periode Pemilu karena rezim presidential threshold yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan perumusan skema peran partai politik dalam mengatasi fenomena politik identitas melalui sarana pendidikan politik masyarakat dan rekonstruksi hukum Pemilu.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian socio legal, yakni metode penelitian hukum yang mengkaji suatu permasalahan melalui perpaduan antara analisis normatif dengan pendekatan ilmu non-hukum. Penelitian socio legal merupakan penelitian yang mengkaji ilmu hukum dengan memasukan faktor sosial dengan tetap dalam batasan penulisan hukum. Dalam penelitian socio legal, pembahasan norma-norma tetap didahulukan, kemudian mengulasnya secara komprehensif dengan kajian interdisipliner/non hukum seperti ekonomi, politik, budaya, sejarah dan lainnya (Sujiono, 2021). Dengan menggunakan penelitian socio legal, peneliti akan mengkonstruksi hukum Pemilu (undang-undang Pemilu) bukan sebagai sistem norma tetapi dikonstruksikan sebagai suatu perilaku masyarakat untuk mengatasi fenomena politik identitas dalam Pemilu, sekaligus peneliti mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika hukum Pemilu bekerja dalam masyarakat di tengah fenomena politik identitas yang terjadi dalam periode Pemilu.

Metode pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan studi dokumen atau bahan Pustaka (library research), yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dari bahan-bahan hukum dan politik, berupa buku, jurnal, makalah ataupun karya ilmiah[19]. Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui observasi (pengamatan) fenomena politik identitas dan dinamikanya sejak Pemilu 2014 sampai Pemilu 2019. Validasi data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber yakni menguji kredibilitas data dengan cara membandingkan dan mengecek melalui beberapa sumber dan teknik triangulasi teori yakni teknik menguji validitas data dengan beberapa teori yang relevan dengan topik penelitian, dalam penelitian ini penulis melakukan sinkronisasi sejumlah regulasi seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan teori yang relevan serta data hasil observasi terkait fenomena politik identitas yang telah diverifikasi dan diuji dengan tingkat subjektivitas sehingga sumber tersebut dapat dipercaya. Kemudian data tersebut dianalisis untuk ditarik kesimpulan melalui metode analisis kualitatif yaitu metode analisis data secara sistematis dan konkret dengan menggunakan pemikiran logis.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN 

Penyebab Terbentuknya Fenomena Politik Identitas Dalam Periode Pemilu

Politik Identitas yang menjadi popular menjelang Pemilu merupakan kelanjutan dari diskursus relasi politik dan agama, dimana praktiknya telah melampaui kajian dan diskusi terkait konsepsi tersebut[20]. Sebelum membahas lebih dalam mengenai politik identitas, perlu dipahami korelasi antara politik dan agama yang menurut pandangan Haryatmoko bahwa untuk memahami relasi agama dan politik paling tidak terdapat tiga mekanisme pokok yang diperlukan antara lain pertama, fungsi ideologi atau kerangka penafsiran religious terhadap hubungan sosial; kedua, agama sebagai faktor identitas; dan ketiga, sebagai legitimasi etis[21].

Dalam menyongsong Pemilu serentak 2024, politik identitas masih merupakan sarana atau strategi politik yang kian vulgar dalam praktik politik saat ini. Pakar Politik Duke Unversity Donald Morowitz mengartikan Politik Identitas merupakan suatu pemberian label atau garis yang tegas untuk siapa yang akan dipilih atau siapa yang akan ditolak (Larry, 1998). Sedangkan para ilmuwan yang bergelut dalam wacana politik identitas lainnya, sebut saja Agnes Heller mengatakan bahwa, Politik Identitas merupakan gerakan politik yang titik fokusnya adalah pada suatu perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama, yaitu pembedaan dengan kategori utamanya adalah kebebasan bermain dan toleransi yang pada akhirnya juga memunculkan intoleransi dan kekerasan serta konflik etnis. Selain itu oleh Abdilah Politik identitas juga meliputi bio feminism, rasisme, environmentalism (politik isu lingkungan) dan masalah etnis (Abdillah, 2002).

Ketika berbicara politik identitas tidak terlepas dengan namanya populisme yang menentukan posisi dalam berpolitik. dalam penelitian Political Identities: The Missing Link in The Study Of Populism bahwa populisme berkaitan erat dengan politik identitas (Melendez dan Cristobal, 2017). Riset Melendez & Cristobal ini mengatakan jika ada politik identitas anti-establishment maka akan berkembang populisme. Hal itu menjadikan konsep rakyat adalah senjata yang ampuh.

Pengertian terkait populisme beragam, meskipun tidak membentuk konsensus bersama untuk mendefinisikannya secara seragam,Cas Mudde mendefinisikan populisme adalah penempatan posisi rakyat mayoritas saling berhadapan (vis-à-vis) secara antagonistik dengan elit penguasa yang korup, dan politik dimaknai sebagai satu bentuk ekspresi keinginan secara umum masyarakat mayoritas (Cas Mudde, 2014). Populisme mudah menarik perhatian masyarakat untuk melawan struktur kekuasaan negara formal serta nilai-nilai dan pemikiran dominan dalam masyarakat, sampai pada ajakan melakukan pergerakan revolusi mengatasnamakan rakyat untuk melawan penguasa politik[22].

Jejak praktik politik identitas sangat terlihat pada Pilpres 2019 dimana pasangan calon nomor urut 2 Prabowo-Sandi dan nomor urut 1 Jokowi- Ma’ruf gencar memainkan isu sentimen yang berbasis agama, suku dan ras, sampai melakukan kampanye yang membawa golongan ideologi tertentu seperti PKI dan Komunisme (Aryojati, 2020). Pada masa kampanye Pemilu 2019 dalam hal ini Pilpres, kita bisa melihat ujaran kebencian yang terjadi dalam beberapa platform media sosial. Seperti terdapat dalam sebuah jurnal[23]. Bahwasanya, hasil analisis menunjukan kampanye negatif seperti hoaks dan ujaran kebencian menjadi top of mind di media sosial seperti facebook, twitter dan instagram. Selain itu, sekitar 23 % politik ujaran kebencian dan hoaks saling serang capres di kanal media sosial facebook dan twitter[24]. Efektifitas pertarungan politik di arena media sosial yang bernuansa politik identitas ini disebabkan karena tidak adanya kontak fisikal sehingga meningkatkan keberanian para pendukung[25].

Dalam tulisan ini, hadirnya politik identitas selain berasal dari perbedaan agama, etnis, ras dan suku. Ternyata hal tersebut sangat berhubungan dengan adanya pengaturan presidential threshold seperti tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yakni “Pasangan Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Ketentuan ini dikenal dengan Presidential Threshold sebesar 20%.

Ketentuan ini menimbulkan pro-kontra terkait efektifitas rezim presidential threshold untuk menciptakan penguatan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Tujuan awal untuk menyeleksi calon presiden dan menyederhanakan sistem kepartaian, tetapi sekarang dianggap sebagai salah satu faktor penyebab lahirnya fenomena politik identitas dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Hal itu dibuktikan ketika kita mengambil gambaran apa yang terjadi di Pilpres 2019 seperti uraian di atas, jika sistem presidential threshold masih akan tetap berjalan, maka di Pemilu 2024 politik identitas lebih marak terjadi karena jika kita melihat hasil Pemilu 2019 hanya PDIP yang memiliki 20% lebih untuk memenuhi syarat dukungan ambang batas dengan jumlah total kursi di DPR, jika dikalkulasikan mendapatkan 128 kursi di DPR-RI dengan minimal 20% yakni 115 dari 575 jumlah kursi DPR-RI (Kompas, 2020).

Adanya ketentuan presidential threshold efektif menghadirkan bipolarisasi dalam masyarakat sampai membuat rasa aman masyarakat terganggu, hal tersebut terjadi karena rezim presidential threshold akan berpotensi hanya menghadirkan dua calon kandidat seperti pada Pilpres 2019 yang terbukti secara empiris terjadi sebaran dan eksploitasi ujaran kebencian dengan pembelaan 2 (dua) poros masyarakat yang saling berhadapan tanpa calon anternatif lainnya. Pakar kePemiluan Titi Anggraini menegaskan hal serupa, bahwa ketentuan ambang batas 20% pencalonan presiden dapat menutup jalan bagi tokoh-tokoh alternatif di luar lingkaran elit, ketentuan ini memberikan porsi yang besar bagi partai politik besar serta mereduksi kesempatan parpol baru peserta pemilihan umum untuk mencalonkan calon presiden, selain itu ketentuan ini juga berdampak pada relasi antar masyarakat yang terjadi polarisasi atau perpecahan. Kecenderungan yang diakibatkan rezim ini justru Polarisasi Disintegratif yang tidak berorientasi pada program dan gagasan, dan lebih berorientasi pada pendekatan memecah belah (liputan6, 2021).

Sejalan dengan itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pertimbangan hukum Putusan MK No 53/PUU-XV/2017, mengemukakan bahwa presidential threshold menjadi penyebab terjadinya ketegangan dan pembelahan di masyarakat, serta pengaturan ini berpotensi mereduksi fungsi partai politik untuk merektrut dan mempersiapkan calon pemimpin Indonesia kedepan. Kemudian, secara tidak langsung rezim ini membuat tertutupnya informasi terhadap para calon pemimpin bangsa yang dibina partai politik. Sebab dengan calon presiden yang beragam, akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui calon pemimpin masa depan serta dapat mengurangi ketegangan dan pembelahan di tengah masyarakat.

Substansi yang sama dengan[26] yang mengemukakan bahwa persaingan bebas dan adil antar kontestan Pemilu merupakan salah satu kriteria Pemilu bebas dan adil dalam negara demokrasi, hal tersebut bertujuan agar penyelenggara negara yang terpilih berasal dari partai atau calon terbaik, dengan berangkat dan bersaing dari titik tolak sama sehingga yang terbaiklah yang akan terpilih. Sebab praktik sebaliknya pernah terjadi pada Pemilu 2019 yang tidak membuka kesempatan secara adil bagi partai- partai politik baru. Lewis Cosser mengistilahkan kompetisi yang memiliki suasana penuh kebebasan dan saling penghargaan merupakan konflik fungsional yang positif (KPU, 2018). Maka, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang masih mengadopsi rezim presidential threshold hasil rekayasa politik sejatinya tidak akan menghadirkan Pemilu yang membuka ruang dan kebebasan bagi elemen masyarakat luas[27].

 

Formulasi Pola Pendidikan Politik Partai Politik

Indonesia sebagai negara demokrasi meneguhkan konsepsi Hak Asasi Manusia dalam hal ini hak sipil dan politik dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945 yang secara eksplisit tertuang pada Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Muatan konstitusional ini merupakan jaminan pelembagaan demokrasi, dan dalam implementasinya hak untuk berserikat dan berkumpul kemudian diwujudkan dalam pembentukan Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem politik Indonesia. Seperti pendapat Yves Meny dan Andrew Knapp[28] (Mubiina, 2020) menyatakan bahwa a democratic system without political parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine. Maka dari itu, kelangsungan demokrasi dapat diukur pula dengan eksistensi parpol sebagai lembaga yang menjadi bagian penting dari sistem demokrasi.

Di era reformasi eksistensi partai politik di Indonesia dilegitimasi dengan UU 2/2008 Tentang Partai Politik sebagaimana diubah dan ditambahkan dengan UU No. 2 Tahun 2011, sebagai upaya reformasi kelembagaan partai politik pasca orde baru serta sebagai politik hukum pelaksanaan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai bagian hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk memperkuat semangat kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, memberikan definisi partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota masyarkat, bangsa dan negara serta memellihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Kemudian fungsi partai politik dirumuskan dalam ketentuan Pasal 11 yang menetapkan bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana:

a)         “pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara;

b)        penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan rakyat;

c)         penghimpun, penyerap, dan penyalur aspirasi politik rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

d)        partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

e)         rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.”

Fungsi parpol yang disebutkan pada huruf a dan b, mengidealkan bahwa partai politik merupakan sarana Pendidikan politik bukan hanya untuk anggota melainkan bagi rakyat untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dan organisasi yang berfungsi menciptakan suatu integrasi dan keutuhan dalam berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan itu, Miriam Budiarjo menuturkan selain sebagai sarana komunikasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik, untuk mewujudkan persatuan nasional partai politik memiliki fungsi sebagai sarana sosialisasi politik yang diwujudkan dengan mensosialisasikan sistem politik maupun fenomena politik kepada masyarakat untuk memberikan sebuah penerangan maupun pendidikan politik, dalam hal ini fenomena politik identitas yang tercipta dari kontestasi Pemilu[29].

Penyebab terjadinya politik identitas sebagaimana diuraikan sebelumnya yakni karena politisasi identitas yang menimbulkan sentimen etnisitas, agama, dan ideologi demi kepentingan politik elektoral. Hal yang sama dengan asal-muasal partai politik yang terbentuk karena keberagaman kepentingan yang saling bertentangan. Fakta historis tersebut dikembangkan oleh Lipset dan Rokkan (1967) dengan sebuah teori yang menjelaskan bagaimana konflik-konflik kemasyarakatan yang menonjol lantas diubah menjadi sistem kepartaian. Berbagai pertentangan dan isu tersebut seperti pertentangan pusat dan lokal perihal agama nasional vs supranasional, bahasa nasional vs latin dengan penggolongan partai-partai berbasis kesukuan dan kebahasaan, selain itu pertentangan gereja dan agama perihal kontrol sekuler vs keagamaan atas Pendidikan massa dengan penggolongan partai-partai keagamaan. Kajian Lipset dan Rokkan mengkonsepsikan partai sebagai persekutuan-persekutuan di tengah pelbagai konflik mengenai kebijakan dan komitmen nilai dalam bangunan politik yang lebih besar dengan menekankan fungsi partai sebagai pelaku manajemen konflik dan alat persatuan[30].

Sebagaimana norma dalam UU Parpol yang menyatakan fungsi Parpol sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat luas dan wadah integrasi warga negara memberikan legitimasi formal bagi partai politik untuk membangun paradigma baru untuk menegasikan salah satu embrio politik identitas yakni populisme politik berbasis sentimen keislaman seperti yang terjadi pada Pemilihan Presiden tahun 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017 dan berlanjut pada Pilpres 2019, pada ranah sosial kemasyarakatan dikotomi antara kelompok nasionalis pendukung Jokowi dan lawannya kelompok islam politik dengan narasi provokatif seperti Jokowi komunis, pro antek asing (china) dan lain sebagainya dalam konteks bersebrangan dengan islam. Doktrinisasi politik identitas ditengah masyarakat pada dasarnya terjadi karena institusionalisasi partai politik yang melemah di tengah masyarakat serta pemahaman ideologi kebangsaan yang tidak diupayakan. Pendidikan Politik masyarakat melalui partai politik, dapat dilakukan sesuai dengan spektrum ideologis, eksistensi dua poros besar ideologi partai politik peserta Pemilu 2024 yakni nasionalis dan islamis. Dengan gambaran sebagai berikut.

Tabel 1

Klasifikasi Haluan Ideologi Parpol Peserta Pemilu 2024

No

Nasionalis

Islam

1.

Partai Gerindra

Partai Keadilan Sejahtera

2.

Partai Golkar

Partai Persatuan Pembangunan

3.

Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan

Partai Kebangkitan Bangsa

4.

Partai NasDem

Partai Amanat Nasional

5.

Partai Garuda

Partai Bulan Bintang

6.

Partai Kebangkitan Nusantara

Partai Ummat

7.

Partai Perindo

 

8.

Partai Solidaritas Indonesia

 

9.

Partai Hanura

 

10.

Partai Demokrat

 

11.

Partai Buruh

 

12.

Partai Gelora

 

 

Sumber: Data dioleh penulis

 

Undang-undang partai politik sejak orde baru sampai saat ini berlaku UU No. 2 Tahun 2011, mengkonstruksikan pelembagaan parpol harus didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Partai Politik, norma tersebut menetapkan bahwa variasi ideologi partai politik tidak bisa bertentang dengan falsafah Pancasila.

Partai Politik dapat mereduksi fenomena politik identitas dengan optimalisasi pendidikan politik kepada anggota dan masyarakat, didasarkan pada haluan ideologi, partai politik yang berideologi nasionalis dapat menyelenggarakan pendidikan politik berbasis republikanisme dan untuk partai yang berideologi Islam menerapkan pendidikan politik berbasis moderasi agama, kedua doktrin tersebut merupakan unifikasi doktrin populisme Pancasila sebagai antitesis populisme agama (politik identitas) yang dapat memsublimasikan ekspresi populisme agama secara agonistik dalam konteks kebhinnekatunggalikaan.

 

Pendidikan Politik Partai Politik Berhaluan Nasionalis

Paradigma Populisme Pancasila sebagai basis dari etika republikanisme dapat memsublimasikan ekspresi populisme islam secara agonistik dalam konteks kebhinnekatunggalikaan. Adanya regresi etika republikanisme membuat kita tergulung pada arus polarisasi politik berbasis identitas secara ekstrim[31]. Paradigma republikanisme yang menekankan pada kesetaraan politik tergambar pada pidato Proklamator Soekarno di Sidang BPUPKI 1 Juni 1945 yang menyatakan bahwa “Republik Indonesia bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik suatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua”,

Substansi yang sama pada Pidato Moh.Hatta di Konferensi Meja Bundar 10 Desember 1949 yang menyatakan:

Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Indonesia merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat kita: hidup bahagia dan makmur dalam pengertian jasmani maupun rohani. Maka dengan tercapainya penyerahan kedaulatan, perjuangan masih belum selesai. Malahan kita berada pada permulaan pengetahuan yang jauh lebih berat dan lebih mulia, yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan manusia daripada segala macam penindasan.

Pidato Soekarno dan Hatta tersebut menjadi refleksi terhadap etika republik dalam pergaulan masyarakat yang berprinsip pada kemanusiaan yang berkeadilan dan berkebudayaan (beradab) yang penting untuk ditegakkan sebagai inti falsafah republikanisme di Indonesia. Proses doktrinisasi falsafah republikanisme relevan dengan karakteristik partai Indonesia yang berhaluan ideologi kebangsaan atau nasionalis. Pendidikan politik republikanisme yang masif oleh partai politik nasionalis baik pada pra, proses dan pasca Pemilu akan menumbuhkan kesadaran politis anti politik identitas dengan paham republikanisme sebagai antitesis yang melahirkan sintesis politik kewargaan yang berbasis kesetaraan, kedamaian dan persatuan nasional.

Pola Pendidikan berbasis falsafah republikanisme dapat diselenggarakan baik secara internal dan eksternal, secara internal dokrinisasi republikanisme harus dimuat dalam kurikulum kaderisasi anggota dan diaktualisasikan disetiap jenjang pendidikan kader, dengan capaian output, kader dapat memahami makna republikanisme dan dapat disebarkan kepada masyarakat setempat dimana kader anggota tinggal, kemudian, menjadi bekal bagi kader untuk menghadapi Pemilu menangkal fenomena penyebaran politik identitas. Berikutnya, secara eksternal parpol menyelenggarakan sosialisasi falsafah republikanisme di masyarakat mulai dari pengurus provinsi sampai di desa, dan menginstruksikan kepada kadernya yang menjadi anggota DPR RI sampai DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk menyertakan materi republikanisme pada agenda sosialisasi empat pilar yang menjadi agenda rutin anggota DPR kepada konstituen. Pola pendidikan di atas harus didasari standar operasional prosedur beserta sistem akuntabilitas internal yang diatur dalam AD/ART.

 

Pendidikan Politik Partai Politik Berhaluan Islam

Selain partai politik yang berideologi nasionalis, eksistensi partai politik berhaluan islam juga dapat menjadi sarana pendidikan politik anti politik identitas  atau  gerakan  populisme  islam  yang  mencoba  mereduksi kesetaraan demokrasi dan memicu disintegrasi bangsa, karena praktik sentimen dan perilaku masa islam yang mendiskriminasi nonislam dan asing (Mujani, 2021).

Gerakan politik tersebut dapat dijalankan oleh partai islam dengan mendudukkan islam dalam keindonesian yang modern atau beradab untuk merajut kebhinnekaan bangsa, doktrin yang dapat diterapkan seperti Pribumisasi Islam atau kontektualisasi Islam yang diajarkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa Islam sebagai doktrin pokok dipercaya universal tapi juga melingkupi keragaman sosial budaya dalam rentang sejarah bangsa masing-masing, serta toleransi kontektualisasi Islam pada keragaman sosial-budaya akan melahirkan islam yang beragam secara sosial-budaya, dan karena keragaman ini maka toleransi adalah suatu keniscayaan untuk menegakkan keberagaman sosial budaya islam dalam terang universalitas doktrin-doktrin dasar Islam (Mujani, 2021).

Pada dokrin ini, moderasi islam didasarkan pada pendekatan kebudayaan dan pendidikan sebagai tindakan reaktualisasi pemikiran- pemikiran keislaman yang dapat menjadi sumber kultural untuk kembali merajut kebhinnekaan melawan politisasi agama. Dengan spirit kontektualisasi islam pada keragaman sosial-budaya akan melahirkan islam yang beragam secara sosial budaya, dan dengan keragaman ini niscaya gerakan politik identitas dapat ditangkal. Oleh sebab itu, spirit moderasi islam ini seharusnya yang diselenggarakan partai politik yang berhaluan islam melalui agenda pendidikan politik masyarakat dan kaderisasi anggotanya. Pendidikan politik masyarakat dapat dilakukan di masjid atau lembaga keagamaan islam dan doktrin ini juga dapat dibekali pada santri di pesantren. Spirit moderasi islam ini juga menggambarkan nilai pancasilais yang mendudukan adanya relasi era antar agama dan kebudayaan untuk menciptakan persatuan nasional. Selain itu, kegiatan ini juga merupakan pelaksanaan amanat undang-undang partai politik untuk tetap berlandaskan pancasila.

Pola pendidikan politik oleh partai politik dapat digambarkan sebagai berikut.

 

 Gambar 1. Pola Pendidikan Politik oleh Partai Politik

Sumber: Diolah tim penulis

 

Pendidikan politik berbasis republikanisme dan moderasi Islam kepada masyarakat dan kader oleh partai politik, juga dipahami sebagai upaya membumikan populisme pancasila sebagai strategi untuk mensublimasikan ketegangan politikal yang diakibatkan oleh gerakan politik identitas melalui perjuangan agonistik secara politik, dan lebih esensial daripada itu populisme pancasila bertujuan untuk membangun mata rantai kesetaraan berbasis kemanusiaan yang adil dan beradab secara programatik untuk merealisasikan prinsip res publika melalui penyelesaian atas ketimpangan dan ketidakberesan ekonomi, politik, dan nasib rezeki rakyat melalui solidaritas ekonomi dan demokrasi yang lebih substantif dengan berbasis pada etika republik (Mundayat, 2021). Untuk mengoptimalkan pola pendidikan tersebut diperlukan juga pembaharuan undang-undang parpol untuk mengatur sistem kaderisasi yang memiliki standarisasi pendidikan politik yang berbasis populisme Pancasila, agar parpol secara normatif terikat untuk melaksanakan pola pendidikan politik tersebut.

 

Peran Partai Politik dalam Rekontruksi Hukum Pemilu

Dalam rangka mewujudkan undang-undang yang demokratis dalam bidang Pemilu, partai politik memiliki peran besar dalam sistem legislasi Indonesia, menurut pemikiran[32] (Mahfud MD, 2017) pada prinsipnya hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik, karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic body), DPR yang di dalamnya terdapat struktur fraksi partai politik (Henny Andriani, 2019).

Peran besar partai politik dalam legislasi dapat dilihat dengan adanya formalisasi partai politik di parlemen yang diwujudkan dengan adanya fraksi sesuai ketentuan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan bahwa “fraksi merupakan pengelompokan anggota berdasarkan konfigurasi partai politik berdasarkan hasil pemilihan umum”.

Kewenangan ketua umum partai politik untuk menetapkan dan memberhentikan pengurus fraksi menunjukan kuasa politik yang cukup besar bagi partai politik di parlemen, bahkan dalam praktiknya pengurus parpol yang bukan sebagai anggota DPR bisa memimpin rapat, memberikan, pendapat dan menetapkan kebijakan fraksi dari parpol. Sehingga pengurus partai politik memiliki kuasa untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini membawa aspirasi masyarakat dalam produk legislatif.

Perjuangan yang berorientasi kedaulatan rakyat relevan dengan eksistensi partai politik sebagai pilar demokrasi, dalam perannya di parlemen Thomas Meyer menyatakan bahwa parpol menerjemahkan nilai dan kepentingan suatu masyarakat dalam proses dari bawah ke atas sehingga nilai dan kepentingan dari masyarakat itu menjadi rancangan undang-undang negara, peraturan-peraturan yang mengikat dan program bagi rakyat (Meyer, 2012). Merupakan Kewajiban partai politik untuk menyerap dan memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam pembentukan undang-undang selaras dengan pendapat Almond dan Powell (Bayu Dwi Anggono, 2020) yang merumuskan 4 (empat) fungsi dari partai politik yaitu: (i) the institutional expression of individual and group interests,

(ii) the aggregation of interests, namely the expression of the necessities as an alternative on the level of general politics, (iii) the political recruitment and, (iv) the political socialization.

Fungsi partai politik sebagai ekspresi institusional kepentingan individu dan kelompok serta agregasi kepentingan mempertegas partai politik sebagai lembaga demokrasi yang harus memperjuangkan terwujudnya produk hukum demokratis. Menurut penulis ada beberapa agenda rekontruksi hukum Pemilu untuk mengatasi fenomena politik identitas, dengan peran partai politik yakni Pertama, perihal presidential threshold. Meninjau produk hukum Pemilu dalam hal ini Undang-undang 7 Tahun 2017 yang masih mengadopsi rezim presidential threshold atau pengaturan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, selain menjadi hulu timbulnya fenomena politik identitas, rezim ini jika ditinjau dari aspek demokrasi subtantif merupakan format hukum yang lebih menguntungkan kaum elitis atau oligarki politik, sebab secara tidak langsung akan membatasi partisipasi warga dan partai politik baru, sehingga bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang pluralis atau menjamin pemenuhan right to vote & right to be candidate. Aspek lain bahwa rezim presidential threshold bertolak belakang dengan esensi perjuangan partai politik yaitu terjadinya ketidakrasionalan apabila calon-calon yang ditawarkan dalam Pemilu tidak menunjukan variasi dan tidak mempresentasikan masyarakat yang pluralistis, sehingga Pemilu cenderung bersifat ekslusif. Maka dari itu, menjadi tanggungjawab moral bagi partai politik yang terbentuk dari pluralitas masyarakat serta yang memiliki peran strategisnya dalam proses legislasi untuk melakukan rekonstruksi hukum Pemilu dengan menghilangkan rezim presidential threshold agar bisa meminimalisir terbentuknya politik identitas saat Pemilu, demi untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis, damai dan merawat integrasi nasional.

Kedua, selain menghapus pengaturan presidential threshold dalam undang-undang Pemilu, formulasi mitigasi politik identitas dalam undang- undang Pemilu juga harus ditekankan seperti kewajiban partai politik harus memberikan Pendidikan politik anti politik identitas dengan memberikan pendalaman paham republikanisme-kebangsaan, moderasi agama dan persatuan nasional baik itu di tengah masyarakat dan kepada kader anggota, pendidikan politik anti politik identitas dapat juga dikembangkan bersama-sama dengan perguruan tinggi agar dapat menciptakan pola yang ideal dan efektif untuk mewujudkan Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa. Kewajiban tersebut harus dinormakan dalam undang-undang Pemilu dibarengi sistem pengawasan dan pertanggungjawaban antara penyelenggara Pemilu dan partai politik peserta Pemilu.

Ketiga, kampanye sebagai ruang politik gagasan dan adu program antara partai politik dengan masyarakat, akan sulit dimaksimalkan dengan durasi pelaksanaan kampanye yang sangat singkat hanya selama 75 hari sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024, regulasi tersebut tidak sesuai dengan kompleksitas pelaksanaan kampanye dengan provinsi dan kabupaten/kota yang cukup banyak dan masalah geografis di Indonesia yang cukup sulit dijangkau. Oleh sebab itu, diperlukan revisi regulasi Pemilu ini dengan memberikan ruang publik dengan waktu yang cukup untuk melaksanakan politik berbasis gagasan melalui agenda kampanye.

Rekontruksi hukum Pemilu oleh partai politik digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Rekonstruksi Hukum Pemilu oleh Partai Politik

 









































Sumber: Diolah tim penulis


Kewenangan besar partai politik di DPR tersebut harus sejalan dengan semangat perjuangan atas aspirasi rakyat, adanya kelembagaan partai yang demokratis dan kader yang berkualitas-idealis adalah hal yang mutlak. Idealitas tersebut dapat diwujudkan dengan adanya sistem perekrutan anggota partai politik yang dapat menjangkau seluruh elemen masyarakat bukan hanya orang-orang tertentu karena adanya relasi dinasti politik dan sistem pengkaderan anggota partai politik yang ketat serta berorientasi pada perjuangan kepentingan rakyat.

Beranjak dari problematika partai politik tersebut, (Noor, 2021) mengemukakan konsep penguatan parpol baik secara vertikal pembenahan internal dan eksternal parpol dan poros horizontal yang terbagi dari aspek substansial (nilai) dan prosedural (aturan atau lembaga).

Pada aspek internal, yakni internal-substansial hak utamanya adalah pelaksanaan kaderisasi yang kontinum, terstandarisasi dan berorientasi pada pembangunan nilai dan praktik demokrasi serta pemantapan ideologi partai. Upaya ini akan mampu membentuk kader yang idealis atas kepentingan bangsa dan negara khususnya rakyat. Bukan kader yang pragmatis-oportunis yang berorientasi kepentingan individu, penguatan kapasitas kader partai ini juga dapat membentuk soliditas untuk terhindar dari politik adu domba (devide et impera) oleh negara. selanjutnya, secara internal-prosedural, yakni berfokus pada perbaikan aturan internal partai dan konsistensi mengedepankan sistem, upaya ini bertujuan untuk memperkuat demokrasi internal karena sistem yang memberikan privilege dan kekuasaan pada sosok atau badan tertentu.

Kemudian dari aspek eksternal, pertama secara eksternal-substansial yaitu adanya pelaksanaan pendidikan politik masyarakat agar dapat tercipta lingkungan politik sehat bagi parpol serta membangun kalangan kritis agar dapat memantau dan mengontrol sikap partai dan kadernya yang tidak professional, sehingga dapat menumbuhkan kehidupan demokrasi. Selanjutnya secara eksternal-prosedural yang mengutamakan pembenahan undang-undang partai politik yang dapat mengikat partai untuk melakukan kaderisasi dalam rangka penguatan idealisme, profesionalisme dan kemandirian. Revisi UU Parpol juga ditujukan untuk memperkuat kemandirian finansial parpol melalui insentif dari negara dibarengi dengan sistem kontrol dan pertanggungjawaban. Hal tersebut diperlukan untuk mengatasi ketergantungan finansial parpol pada sekelompok elit.

Demokratisasi internal dan penguatan kapasitas kader partai politik merupakan kunci efektifitas pelaksanakan fungsi partai politik di parlemen dengan merekontruksi hukum Pemilu yang berwujud demokratis serta integratif guna meredam gerakan politik identitas yang memecah belah kultur kebangsaan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu.

 

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukan bahwa politik identitas saat periode Pemilu terbentuk dengan adanya gerakan populisme yang menjadikan Pemilu sebagai agenda yang bisa mencapai pemberlakuan ideologi eksklusif yang berbasis agama dengan cara menyampaikan narasi kebencian dengan isu Agama, Suku, Ras dan Antargolongan yang seolah-olah bertautan erat di dalam dirinya baik di dalam dunia nyata maupun ruang-ruang digital. Gerakan populisme yang digerakkan oleh dua belah pihak dilakukan dengan pola diskriminatif SARA sehingga menciptakan politik pembelahan dan polarisasi dalam masyarakat yang sangat kuat dan bahkan menghasilkan kekerasan fisik semata-mata untuk mendelegitimasi lawan Pemilu. Populisme agama menjadi variable berpengaruh terhadap politik identitas yang dijadikan sebagai strategi oleh para politisi dengan janji politik pragmatis atau upaya meningkatkan elektabilitas lewat simbol-simbol agama tertentu. Selain populisme agama, pengaturan presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum juga menjadi penyebab terjadinya politik identitas karena hanya akan memunculkan dua kekuatan politik yang mengakibatkan polarisasi dan pembelahan ekstrim antar pendukung ditengah masyarakat sehingga membuat Pemilu menjadi eksklusif tidak infklusif, dampak rezim presidential threshold dapat dilihat sejak Pemilu 2014 sampai Pemilu 2019, yang hanya terdapat dua kandidat calon presiden menyebabkan dua poros pendukung yang mempolitisasi identitas SARA sehingga terjadi eksklusivitas yang tidak lagi bersifat kompetitif dan konfliktual, tetapi lebih daripada itu, yakni usaha untuk saling meniadakan.

Penelitian         ini     menunjukan         dengan      kedudukan        dan fungsi yang strategis sesuai undang-undang partai politik dan esensi kehadirannya dalam suatu negara formal, Partai Politik dapat mereduksi fenomena politik identitas karena gerakan    populisme  agama dengan   melaksanakan pendidikan politik secara massif pada masyarakat dengan membagi partai politik yang berhaluan ideologi nasionalis melaksanakan pendidikan politik yang berbasis republikanisme dan untuk partai yang berideologi Islam menerapkan pendidikan politik berbasis moderasi islam, kedua doktrin tersebut merupakan unifikasi doktrin menjadi konsep populisme Pancasila sebagai antitesis populisme agama yang dapat memsublimasikan ekspresi populisme agama secara agonistik dalam konteks kebhinnekatunggalikaan.

Partai politik yang terbentuk dari pluralitas masyarakat memiliki peran dan kedudukan strategis dalam proses legislasi sehingga akan efektif melakukan rekonstruksi hukum Pemilu dengan menghilangkan rezim presidential threshold dan mengatur sistem pendidikan politik anti politik identitas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, peran parpol tersebut akan berjalan dengan ideal jika dijalankan dengan semangat demokrasi dan pluralisme oleh partai politik melalui demokratisasi internal, penguatan ideologi kader dan konstituen yang berbasis populisme Pancasila.

 

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

Adediji, A. (2016). The politicization of ethnicity as source of conflict. The Nigerian Situation, 419-429.

Al-Farisi, L. S. (2020). Politik Identitas: Ancaman Terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Negara Pancasila. ASPIRASI, 10(2), 77-90.

Allcott, H., & Gentzkow, M. (2017). Social media and fake news in the 2016 election. Journal of economic perspectives, 31(2), 211-236.

Andriani, H. (2019). Politik Hukum Perundang-Undangan Pada Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Mewujudkan Undang-Undang Yang Responsif, Lihat “Menggagas Arah Kebijakan Reformasi Regulasi Di Indonesia, Prosiding Forum Akademik Kebijakan Reformasi Regulasi 2019, Jakarta: Yayasan Studi Hukum dan Kebijakan.

Anggono, B. D. (2020). Telaah Peran Partai Politik untuk Mewujudkan Peraturan Perundang-Undangan yang Berdasarkan Pancasila. Jurnal Konstitusi, 16(4), 695–720. https://doi.org/10.31078/jk1642

Anggraini, Titi. (2018). Perludem: Ambang Batas Parlemen Jadikan Pemilu 2019  Sengit,  liputan6.com,  https://www.liputan6.com/perludem-ambang-batas-parlemen-jadikan-Pemilu-2019-sengit, 30 Agustus 2018.

Ardipandanto, A. (2020). Dampak Politik Identitas Pada Pilpres 2019: Perspektif Populisme [The Impact of Identity Politics On President Election 2019: Populism Perspective]. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 11(1), 43-63.

Asshiddiqie, J, (2014). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 6th ed. Jakarta: Rajawali Pers.

Badan Pengawas Pemilu RI. (2019). Pemantauan Hoax 16 Maret-16 April Bawaslu: 2019.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama.Jakarta

Chusniyah, T. & Pitaloka, A. (2016). Pengaruh Identitas Nasional, Etnis, dan Agama Terhadap Multikulturalisme dalam Menghadapi Globalisasi di Indonesia. Diakses 18 April 2023, dari: https://fpsi.um.ac.id/pengaruh-identitas-nasional-etnis-dan-agama- terhadap-multikulturalisme-dalam-menghadapi-globalisasi-di- indonesia/.

Dwiyanti, A. et al. (2022). Catatan Akhir Tahun 2022: Kemunduran Demokrasi Dan Kegagalan Pemenuhan HAM di Indonesia. Jakarta: Yayasan Kebijakan Publik Jakarta Public Virtue Research Institute.

Fahmi, I. (2022). Tren Dan Popularitas Sebutan Cebong, Kampret, BuzzeRP, Dan Kadrun,          diakses            17                     April 2023, dari: https://pers.droneemprit.id/tren-dan-popularitas-sebutancebong- kampret-buzerp-dan-kadrun/

Habibi,        M.    (2018,      July      7).     Analisis       Politik      Identitas       di Indonesia. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.16590.66887

Hadiz, V. R. (2014). A new Islamic Populism and the Contradictions of Development. Journal of Contemporary Asia, 44(1), 125-143. 10.1080/00472336.2013.832790

Hans-Dieter, et al. (1999). Partai, Kebijakan dan Demokrasi, Penerjemah, Sigit Jatmika, Yogyakarta: Jentera-Pustaka Pelajar.

Haryatmoko. (2010). Dominasi penuh muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Herdiansah, A. G. (2017). Politisasi identitas dalam kompetisi Pemilu di Indonesia pasca 2014. Jurnal Bawaslu, 3(2), 169-183.

Lestari, D. (2019). Pilkada DKI Jakarta 2017: Dinamika Politik Identitas di Indonesia. JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala, 4(4), 12-16.

Lestari, Y. S. (2018). Politik Identitas Di Indonesia: Antara Nasionalisme Dan Agama. Journal of Politics and Policy, 1(1), 19-30

Maarif, A. S., et al. (2010). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (p. 4). Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Wakaf Paramadina

Mair, P. (1990). The West European Party System, Oxford: Oxford University Press.

MD, Mahfud. (2017). Politik Hukum Di Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Meyer, T. (2012). Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis, Cet.2. Jakarta: Friedrich-Ebert-Shiftung (FES) Kantor Perwakilan Indonesia

Mietzner, M. (2015). Reinventing Asian populism: Jokowi's rise, democracy, and political contestation in Indonesia. Honolulu, HI: East-West Center. Morowitz, D. L. (1998). Demokrasi pada masyarakat majemuk” dalam larry diamond Mars F Plattner. Nasionalisme, konflik etnik dan demokrasi, Bandung: ITB Press.

Mubiina, F. A. (2020). Kedudukan Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasca Reformasi. Jurnal Konstitusi, 17(2), 437-460 Mudde, C. (2004). The Populist Zeitgeist. Government and Opposition, 39(4), 541-563. doi:10.1111/j.1477-7053.2004.00135.x

Mujani, S. (2021) “Merajut Kebhinnekaan Kita sebagai Negara-Berbangsa: Refleksi 75 Tahun Indonesia.” Dalam Demokrasi Tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial Politik Tentang Kemunduran Demokrasi Di Indonesia, editor Aisah Putri Budiatri, Herlambang P. Wiratraman, Wijayanto, 641-652. Depok: Pustaka LP3S.

Mundayat, A. A. (2021). “Mengembalikan Republik Melalui Populisme Pancasila: Mungkinkah?.” Dalam Demokrasi Tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial Politik Tentang Kemunduran Demokrasi Di Indonesia, editor Aisah Putri Budiatri, Herlambang P. Wiratraman, Wijayanto, 571-588. Depok: Pustaka LP3S

Noor, F. (2021) “Partai dan Kemunduran Demokrasi: Identifikasi Penyebab dan Usulan Solusi.” Dalam Demokrasi Tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial Politik Tentang Kemunduran Demokrasi Di Indonesia, editor Aisah Putri Budiatri, Herlambang P. Wiratraman, Wijayanto, 132-146. Depok: Pustaka LP3S.

Pelfini, A. (2011). Global and National Political Elities in South America: Limited Transnationalization Processes and The Persistence of Inequality, in Rehbein, Boike (Ed): Globalization and Inequality in Emerging Societies, Basingstoke: Palgrave-MacMillan.

Republika. (2019). Jimly: Sebaiknya Ambang Batas Presiden 20 Persen Dihapus”.Republika, di Akses tanggal 22 April 2023 dari, https://news.republika.co.id/berita/nasional/politik/19/04/22/ - jimly-sebaiknya-ambang-batas-presiden-20-persen-dihapus?.

SAFEnet, (2022). Ujaran Kebencian Di Ranah Digital: Korban, Pelaku, Dan Metode Penanganan. Jakarta: SAFEnet.

Si, Frenki, M. (2021). Analisis Politisasi Identitas dalam Kontestasi Politik pada Pemilihan Umum di Indonesia. As-Siyasi: Journal of Constitutional Law, 1(1), 29-48. https://doi.org/10.24042/as-siyasi.v1i1.8540N

Sirait, F. E. T. (2020). Ujaran Kebencian, hoax dan perilaku memilih (studi kasus pada pemilihan presiden 2019 di Indonesia). Jurnal Penelitian Politik, 16(2), 179-190

Soekanto, S & Mamudji, S. (2015). Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-17, Jakarta: Rajawali Pers.

Sujono, I. (2021). Urgensi Penemuan Hukum dan Penggunaan Yurisprudensi dalam Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 18(3), 585-607.

Sulardi & Ramadhan, F (2018). Presidential Threshold Dalam Pemilihan Presiden: Kajian Demokratis Dan Konstitusional, Padang: Prosiding KHTN V Pusat Sudi Konstitusi Universitas Andalas.

Surbakti, R. (2014). Pemilu Berintegritas dan Adil. Harian Kompas edisi, 14. Ubed,  A.  (2002).  Politik  Identitas  Etnis  Pergaulan  Tanda-Tanda Identitas. Yayasan Indonesiatera, Magelang.

Universitas Airlangga, (2018). Laporan Kajian Evaluasi Pilkada, Universitas Airlangga Surabaya, Bagian Kerjasama Antar lembaga Biro Perencanaan dan Data KPU RI.

Warburton, E., & Aspinall, E. (2019). Explaining Indonesia's Democratic Regression: Structure, Agency and Popular Opinion. Contemporary Southeast Asia, 41(2), 255-285. https://doi.org/10.1355/cs41-2k

Widodo, Isto, (2017). Analisis Kelembagaan Baru Penanganan Muatan Kebencian Berbasis Politik Identitas di Internet di Indonesia: Sebuah Kajian Awal, Jurnal Bawaslu, 3(2): 253-267.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 02 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

Putusan Mahkamah Konstitusi No.70/PUU-XIX/2021

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XV/2017



[1] Fahmi, I. (2022). Tren Dan Popularitas Sebutan Cebong, Kampret, BuzzeRP, Dan Kadrun diakses 17 April 2023, dari: https://pers.droneemprit.id/tren-dan-popularitas-sebutancebong-kampret-buzerp-dan-kadrun/

[2] Dwiyanti, A. et al. (2022). Catatan Akhir Tahun 2022: Kemunduran Demokrasi Dan Kegagalan Pemenuhan HAM di Indonesia. Jakarta: Yayasan Kebijakan Publik Jakarta Public Virtue Research Institute.

[3] Warburton, E., & Aspinall, E. (2019). Explaining Indonesia's Democratic Regression: Structure, Agency and Popular Opinion. Contemporary Southeast Asia, 41(2), 255-285. https://doi.org/10.1355/cs41-2k

[4] Maarif, A. S., et al. (2010). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (p. 4). Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Wakaf Paramadina

[5] Habibi, M. (2018, July     7). Analisis Politik Identitas di Indonesia. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.16590.66887

[6] Maarif, A. S., et al. (2010). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (p. 4). Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Wakaf Paramadina

[7] Adediji, A. (2016). The politicization of ethnicity as source of conflict. The Nigerian Situation, 419-429.

[8] Si, Frenki, M. (2021). Analisis Politisasi Identitas dalam Kontestasi Politik pada Pemilihan Umum di Indonesia. As-Siyasi: Journal of Constitutional Law, 1(1), 29-48. https://doi.org/10.24042/as-siyasi.v1i1.8540N

[9] Universitas Airlangga, (2018). Laporan Kajian Evaluasi Pilkada, Universitas Airlangga Surabaya, Bagian Kerjasama Antar lembaga Biro Perencanaan dan Data KPU RI.

[10] Mietzner, M. (2015). Reinventing Asian populism: Jokowi's rise, democracy, and political contestation in Indonesia. Honolulu, HI: East-West Center. Morowitz, D. L. (1998). Demokrasi pada masyarakat majemuk” dalam larry diamond Mars F Plattner. Nasionalisme, konflik etnik dan demokrasi, Bandung: ITB Press.

[11] Hadiz, V. R. (2014). A new Islamic Populism and the Contradictions of Development. Journal of Contemporary Asia, 44(1), 125-143. 10.1080/00472336.2013.832790

[12] SAFEnet, (2022). Ujaran Kebencian Di Ranah Digital: Korban, Pelaku, Dan Metode Penanganan. Jakarta: SAFEnet.

[13] Republika. (2019). Jimly: Sebaiknya Ambang Batas Presiden 20 Persen Dihapus”.Republika, di Akses tanggal 22 April 2023 dari, https://news.republika.co.id/berita/nasional/politik/19/04/22/-jimly-sebaiknya-ambang-batas-presiden-20-persen-dihapus?.

[14] Mair, P. (1990). The West European Party System, Oxford: Oxford University Press.

[15] MD, Mahfud. (2017). Politik Hukum Di Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

[16] Herdiansah, A. G. (2017). Politisasi identitas dalam kompetisi Pemilu di Indonesia pasca 2014. Jurnal Bawaslu, 3(2), 169-183.

[17] Lestari, D. (2019). Pilkada DKI Jakarta 2017: Dinamika Politik Identitas di Indonesia. JUPE: Jurnal Pendidikan Mandala, 4(4), 12-16.

[18] Widodo, Isto, (2017). Analisis Kelembagaan Baru Penanganan Muatan Kebencian Berbasis Politik Identitas di Internet di Indonesia: Sebuah Kajian Awal, Jurnal Bawaslu, 3(2): 253-267.

[19] Soekanto, S & Mamudji, S. (2015). Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-17, Jakarta: Rajawali Pers.

[20] Al-Farisi, L. S. (2020). Politik Identitas: Ancaman Terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Negara Pancasila. ASPIRASI, 10(2), 77-90.

[21] Haryatmoko. (2010). Dominasi penuh muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

[22] Pelfini, A. (2011). Global and National Political Elities in South America: Limited Transnationalization Processes and The Persistence of Inequality, in Rehbein, Boike (Ed): Globalization and Inequality in Emerging Societies, Basingstoke: Palgrave-MacMillan.

 

[23] Sirait, F. E. T. (2020). Ujaran Kebencian, hoax dan perilaku memilih (studi kasus pada pemilihan presiden 2019 di Indonesia). Jurnal Penelitian Politik, 16(2), 179-190

[24] Badan Pengawas Pemilu RI. (2019). Pemantauan Hoax 16 Maret-16 April Bawaslu: 2019.

[25] Allcott, H., & Gentzkow, M. (2017). Social media and fake news in the 2016 election. Journal of economic perspectives, 31(2), 211-236.

[26] Surbakti, R. (2014). Pemilu Berintegritas dan Adil. Harian Kompas edisi, 14. Ubed,  A.  (2002).  Politik  Identitas  Etnis  Pergaulan  Tanda-Tanda Identitas. Yayasan Indonesiatera, Magelang.

[27]Sulardi & Ramadhan, F (2018). Presidential Threshold Dalam Pemilihan Presiden: Kajian Demokratis Dan Konstitusional, Padang: Prosiding KHTN V Konstitusi Universitas Andalas

[28] Mubiina, F. A. (2020). Kedudukan Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasca Reformasi. Jurnal Konstitusi, 17(2), 437-460 Mudde, C. (2004). The Populist Zeitgeist. Government and Opposition, 39(4), 541-563. doi:10.1111/j.1477-7053.2004.00135.x

[29] Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama.Jakarta

[30] Hans-Dieter, et al. (1999). Partai, Kebijakan dan Demokrasi, Penerjemah, Sigit Jatmika, Yogyakarta: Jentera-Pustaka Pelajar.

[31] Mundayat, A. A. (2021). “Mengembalikan Republik Melalui Populisme Pancasila: Mungkinkah?.” Dalam Demokrasi Tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial Politik Tentang Kemunduran Demokrasi Di Indonesia, editor Aisah Putri Budiatri, Herlambang P. Wiratraman, Wijayanto, 571-588. Depok: Pustaka LP3S

[32] MD, Mahfud. (2017). Politik Hukum Di Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo