Segala Sesuatu Tentang Ilmu Pemerintahan

Akademik Universitas Baturaja

Universitas Baturaja (UNBARA) merupakan satu-satunya Universitas di Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatera Selatan, yang berpartisipasi mendidik dan mencerdaskan anak bangsa

Profil Universitas Baturaja

Menjadi Universitas yang unggul dan berkarakter dalam penyelenggaraan Tridarma perguruan tinggi tahun 2030 (Being an outstanding and characterized university in the implementation of Tridarma in 2030), Quality statement : Unggul dan Berkarakter (An outstanding and characterized university)

Profil FISIP UNBARA

Menjadi Fakultas Yang Terakreditasi Baik Dalam Menghasilkan Sumberdaya Manusia Yang Berdaya Saing, Unggul Dan Berkarakter Pada Tahun 2018

Profil Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA

Menjadi Pusat Aktivitas Tridarma Perguruan Tinggi untuk Menciptakan Sumber Daya Manusia yang Berakhlak di Bidang Ilmu Pemerintahan dalam rangka Terwujudnya Democratic Governance

Akreditasi Ilmu Pemerintahan UNBARA

Akreditasi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Baturaja dari Ban-PT adalah B sejak tahun 2017, dan tetap terakreditas B sampai dengan tahun 2027

Saturday, January 29, 2022

Provinsi di Indonesia

Provinsi Baru di Indonesia yang terbentuk antara tahun 1999 sampai sekarang (2022) 

 

 

1. Provinsi Maluku Utara, dengan ibukota di Kota Sofifi ini terbentuk pada tanggal 4 Oktober 1999. Provinsi yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Maluku ini merupakan provinsi yang ke-27 di Indonesia. 

2. Provinsi Banten, dengan ibukota di Kota Serang ini terbentuk pada tanggal 17 Oktober 2000. Provinsi ini merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat ini merupakan provinsi yang ke-28 di Indonesia. 

3. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dengan ibukota di Kota Pangkal Pinang ini terbentuk pada tanggal 4 Desember 2000. Provinsi ini hasil pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan dan menjadi provinsi ke-29 di Indonesia. 

4. Provinsi Gorontalo, dengan ibukota di Kota Gorontalo ini terbentuk pada tanggal 22 Desember 2000. Provinsi ini merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara dan menjadi provinsi yang ke-30 di Indonesia. 

5. Provinsi Papua Barat, dengan ibukota di Kota Manokwari ini terbentuk pada tanggal 21 November 2001. Provinsi ini merupakan hasil pemekaran dari provinsi Papua dan menjadi provinsi yang ke-31 di Indonesia. 

6. Provinsi Kepulauan Riau, dengan ibukota Tanjung Pinang ini terbetuk pada tanggal 25 Oktober 2002. Provinsi ini merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Riau ini menjadi provinsi yang ke-32 di Indonesia. 

7. Provinsi Sulawesi Barat, dengan ibukotanya di Kota Mamuju ini terbentuk pada tanggal 5 Oktober 2004. Provinsi yang terbentuk dari pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan ini merupakan provinsi yang ke-33 di Indonesia.

 8. Provinsi Kalimantan Utara, dengan ibukota Tanjung Selor ini terbentuk pada tanggal 25 Oktober 2012. Provinsi ini merupakan hasil pemekaran dari Provinsi KalTim dan menjadi provinsi yang ke-34 di Indonesia.

Maka dengan demikian ada 34 Provinsi yang ada di Indonesia, yang terdiri atas:

A. Provinsi di Pulau Sumatra

1. Nanggroe Aceh Darussalam : Banda Aceh
2. Sumatera Utara : Medan
3. Sumatera Selatan : Palembang
4. Sumatera Barat : Padang
5. Bengkulu : Bengkulu
6. Riau : Pekanbaru
7. Kepulauan Riau : Tanjung Pinang
8. Jambi : Jambi
9. Lampung : Bandar Lampung
10.Bangka Belitung : Pangkal Pinang

B. Provinsi di Pulau Kalimantan

1. Kalimantan Barat : Pontianak
2. Kalimantan Timur : Samarinda
3. Kalimantan Selatan : Banjarmasin
4. Kalimantan Tengah : Palangkaraya
5. Kalimantan Utara : Tanjung Selor (Belum pernah melkskan MoU)

C. Provinsi di Pulau Jawa

1. Banten : Serang
2. DKI Jakarta : Jakarta
3. Jawa Barat : Bandung
4. Jawa Tengah : Semarang
5. DI Yogyakarta : Yogyakarta
6. Jawa timur : Surabaya

D. Provinsi di Pulau Nusa Tenggara & Bali

1. Bali : Denpasar
2. Nusa Tenggara Timur : Kupang
3. Nusa Tenggara Barat : Mataram

E. Provinsi di Pulau Sulawesi

1. Gorontalo : Gorontalo
2. Sulawesi Barat : Mamuju
3. Sulawesi Tengah : Palu
4. Sulawesi Utara : Manado
5. Sulawesi Tenggara : Kendari
6. Sulawesi Selatan : Makassar

F. Provinsi di Pulau Maluku dan Papua

1. Maluku Utara : Ternate
2. Maluku : Ambon
3. Papua Barat : Manokwari
4. Papua ( Daerah Khusus ) : Jayapura

Monday, January 24, 2022

Ilmu Pemerintahan adalah Khas Indonesia


 

IP adalah khas Indonesia, yang tidak dikenal di belahan dunia. Tetapi IP selalu memperoleh stimulus eksternal: kolonialisme, developmentalisme, dan neoliberalisme. Ia hadir karena keperluan aksiologi pragmatis, yang bukan untuk menyiapkan kader-kader pemerintah, bukan pula untuk mencerahkan praktik pemerintahan secara utuh, tetapi sekadar untuk mencetak birokrasi yang lebih banyak untuk menjaga law and order, seperti halnya para pangreh praja kolonial untuk menjaga rust en orde. Tujuan aksiologi yang tidak duduk itu tidak dilengkapi dengan ontologi yang memadai. Para sarjana berputar-putar menentukan objek IP adalah gejala pemerintahan. Tetapi makna pemerintahan yang disajikan sungguh salah kaprah dan dangkal.  

Pertama, konsep pemerintah lahir dari tradisi Anglo Saxon, tetapi para sesepuh memahami pemerintahan dari sudut Eropa Kontinental, yakni konsep bestuurkunde yang diimpor dari Negeri Belanda. Adaptasi ini adalah kesalahan parah. Orang Belanda menyebut bestuurskunde sebagai administrasi, orang Indonesia menerjemahkan bestuurskunde sebagai pemerintahan.  

Kedua, konstitusi telah menyediakan roh, semangat, dan pengetahuan tentang “pemerintahan berkedaulatan rakyat”, yang mirip dengan “pemerintahan republikenisme” ala Anglo Saxon, tetapi para sesepuh malah membuat “pemerintahan administratif-birokratis” yang diwarisi dari praktik-pengetahuan kolonial. Konstitusi malah dimonopoli oleh para sarjana hukum positivis-dogmatis, yang sibuk bicara negara hukum dan supremasi hukum, yang melihat pemerintahan dengan lensa hakim, bukan lensa pemerintah sebagai pemegang kedaulatan rakyat.

IP secara epistemologis tidak mempengaruhi, apalagi mencerahkan praktik, malah sebaliknya, pengetahuan pemerintahan lebih banyak dipengaruhi oleh praktik. Kolonialisme, yang membentuk negara pegawai, membentuk DNA IP. Developmentalisme Orde Baru, yang meneruskan kolonialisme, sangat kuat membentuk IP. Wajah Orde Baru adalah wajah IP. Era reformasi, yang menganut neoliberalisme, juga diikuti oleh IP, yakni, tidak mencerahkan dan memperkuat pemerintah(an) rakyat, melainkan menggunakan manajemen publik dan tatakelola untuk membentuk pemerintahan pasar dan pemerintahan teknokratik.

Meskipun IP mengklaim sebagai disiplin mandiri, tetapi secara de facto pemerintahan hanya sebuah studi. Ia dikaji dari hukum yang berorientasi regulating, dari administrasi yang berorientasi administering, dari sisi manajemen yang bermakna managing, dan dari sisi governance yang berbau networking. Kita tidak pernah memperoleh pemahaman utuh tentang governing yang dijalankan pemerintah, sebuah institusi pemegang kedaulatan rakyat. Mutilasi ini ibarat orang melihat sejumlah pohon yang berbeda-beda, tetapi tidak pernah melihat hutan. Akibatnya komunitas IP “tidak mengetahui apa yang diketahui dan apa yang dihafal” tentang pemerintahan.

Masalah ontologi tentu berdampak ke epistemologi. Orang hanya bicara sejumlah pendekatan untuk melihat pemerintahan serta berbagai metode untuk memperoleh pengetahuan sistematis. Namun komunitas IP tidak secara epistemologis menggunakan “pemerintahan” sebagai subjek dan perspektif untuk melihat, memahami dan menjelaskan politik, administrasi, hukum, kehidupan sosial, ekonomi, hajat hidup orang banyak, dan lain-lain. Dengan kalimat lain, pemerintahan adalah objek studi yang dilihat dari banyak disiplin ilmu, tetapi IP tidak pernah berhasil melihat secara terbalik, yakni melihat halaman ilmu lain dengan perspektif pemerintahan.

IP masih menghadapi masalah definisi, imajinasi dan posisi, yang dapat disebut ontologi dan identitas. Ketika IP masih belum beres dengan ontologi dan identitas, maka jangan harap ia akan memiliki epistemologi yang kaya dan aksiologi yang relevan. Perkara ontologi dan identitas, sejak dekade 1980-an, muncul tiga cara pandang terhadap IP.

Pertama, para generasi sesepuh pendiri-perintis (seperti Soewargono, S. Pamudji, Soejamto, E. Koeswara, Bayu Surianingrat, Taliziduhu Ndraha, dan lain-lain) berhaluan Eropa Kontinental, berpendapat bahwa IP adalah ilmu yang mandiri, lepas dari ilmu politik, sekaligus setara dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Mereka menyamakan kemandirian IP setara dengan ilmu administrasi negara yang sudah lama lepas dari ilmu politik. IP, kata mereka, mempunyai obyek kajian yang jelas, yakni fenomena pemerintahan, yang dikaji secara sistematis sesuai kaidah ilmu. Bahkan kata mereka, IP sudah berkembang pesat di Negeri Belanda dalam bentuk bestuurskunde, sekaligus sudah diakui luas oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia.

Kedua, generasi ilmuwan politik maupun sarjana administrasi publik pengikut tradisi Anglo Saxon (seperti Afan Gaffar, Riswandha Imawan, Maswadi Rauf), yang mendukung eksistensi IP, bukan IP yang otonom, melainkan IP sebagai bagian/turunan Ilmu Politik. Pandangan ini bisa ditafsirkan bahwa disiplin IP merupakan sebuah cabang dalam studi Ilmu Politik, sebagaimana dilembagakan dalam bentuk department of government. “Di AS sendiri tidak ada perbedaan antara Department of Government dengan Department of Political Science, baik dalam hal kurikulum maupun fokus studinya”, tutur Maswadi Rauf (2015). Y. Adiwisastra (2015), seorang guru besar administrasi publik, secara lugas menelanjangi identitas disiplin IP yang tidak jelas. Ia mengatakan bahwa focus interest IP adalah focus interest ilmu politik. Pemerintahan hanya merupakan salah satu subdisiplin ilmu politik, dan bestuurkunde merupakan salah satu silabus ilmu administrasi negara. Ia mengatakan administrasi publik merupakan pemerintahan dalam tindakan. Dengan demikian, pemerintahan adalah obyek kajian, yang bisa dilihat dari sisi Ilmu Politik maupun sisi Ilmu Administrasi Publik. Ia secara lugas menambahkan: “Nama ‘IP’ sekadar menyesuaikan diri dengan selera tertentu, sehingga dicari-cari justifikasi agar ‘ilmu’ ini tetap ada

Ketiga, kelompok ilmuwan yang berpandangan pemerintahan bukan disiplin ilmu, melainkan hanya bidang (obyek) kajian. Raadschelders (2015) istilah pemerintahan merujuk pada objek pengetahuan substantif, sedangkan administrasi publik mengacu pada studi akademik. Dengan kalimat lain, pemerintahan merupakan sebuah bidang-obyek studi yang antara lain bisa didekati dengan disiplin administrasi publik. Dengan menolak “pemerintahan sebagai ilmu”, Pratikno (2003) berpendapat: “Pada level global, istilah ‘science of government’ atau ‘governmental science’ sangat sulit (kalau tidak bisa dibilang tidak bisa) ditemui sebagai terminologi maupun sebagai nama lembaga

Pendapat “pemerintahan sebagai studi” itu mungkin lebih relevan ketimbang posisi “IP sebagai turunan ilmu politik” maupun posisi “IP sebagai disiplin otonom”. Di belahan dunia, science of government atau governmental science, hanya dikenal sebagai sebutan dan pelajaran. Pendiri Amerika, George Washington dan John Adams, beberapa kali bicara science of government (S. Cook dan W. Earleklay, 2014). Sebutan itu yang mendorong kehadiran sejumlah buku yang disajikan oleh para penulis Amerika pada dekade 1800-an sebelum lahir ilmu politik dan studi administrasi pada tahun 1880-an. Sejumlah universitas di Amerika dan Inggris memiliki institusi “department of government” atau “department of government and politics” tetapi tidak mengembangkan “science of government” sebagai disiplin ilmu, melainkan berisi ilmu politik. Government Department Harvard University mengembangkan studi politik atas pemerintahan, namun institusi ini sampai sekarang memiliki sebutan “Eaton Professor of the Science of Government” yang antara lain disematkan pada sejumlah ilmuwan politik seperti Carl Friedrich, Charles McIlwain, Samuel Huntington, Robert Bates, Samuel Beer, dan Daniel Ziblatt.

Di tengah “science of government” yang mati suri, hanya sebagai sebutan dan pelajaran, studi pemerintahan berkembang pesat. Pemerintahan sebagai bidang studi menjadi perhatian berbagai disiplin ilmu dan perspektif, bukan hanya ilmu politik dan administrasi publik, tetapi juga filsafat, hukum, sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, ekonomi-politik, manajemen, geografi, dan ekologi. Karena posisi “pemerintahan sebagai studi” inilah, UGM yang dulu menjadi perintis IP, malah meninggalkan IP dan menggantikannya dengan “politik dan pemerintahan” sejak 2009.

Mengikuti jejak UGM itu, pada tahun 2014/2015, rezim kodifikasi sempat merekomendasikan kepada program studi IP di seluruh Indonesia agar mengganti “IP” menjadi “studi pemerintahan” (governance studies atau governmental studies). Tetapi asosiasi IP melakukan advokasi yang menolak rekomendasi itu, sehingga sampai sekarang, tetap berhasil mempertahankan IP, bahkan juga hadir pengakuan tentang gelar kesarjanaan baik sarjana IP maupun magister IP.

 

*sumber:

ILMU  PEMERINTAHAN:
ANTI PADA POLITIK, LUPA PADA HUKUM, DAN ENGGAN PADA ADMINISTRASI

Sutoro Eko Yunanto
Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Jl. Timoho No, 317 Yogyakarta 
toroeko@yahoo.com

Sunday, January 23, 2022

Mazhab dalam Ilmu Pemerintahan

 Tiga Mazhab dalam Ilmu Pemerintahan

 

 

1. Mazhab Bulaksumur atau Universitas Gadjah Mada (UGM) yang telah merintis sekaligus meninggalkan IP.  IP awal di UGM mengedepankan bestuurkunde, dan selanjutnya bercorak administrasi publik pada dekade 1970an hingga 1980-an. Dekade 1990an IP bercita rasa ilmu politik karena “subversi” yang dilakukan oleh para doktor ilmu politik. Generasi dekade 1990-an hingga sekarang sama sekali tidak mengakui IP sebagai dispilin ilmu, melainkan hanya sebagai sebuah studi. Mazhab Bulaksumur meninggalkan IP pada 2009 dan berubah menjadi politik dan pemerintahan yang berinduk pada ilmu politik, dengan keyakinan bahwa pemerintahan adalah politik dan politik adalah pemerintahan

 


2. Mazhab Bandung-Jatinangor, sebagai mazhab arus utama, menekuni dan menyusun ulang IP tetapi dengan rasa manajemen publik. Mazhab ini memiliki pendapat bahwa IP sudah berdiri secara otonom yang lepas dari ilmu politik, sekaligus diakui oleh pemerintah bahkan juga diajarkan di Negeri Belanda. Mazhab utama ini gelisah, mengakui bahwa IP mengalami krisis identitas (Muhadam Labollo, 2014), dan tidak sanggup membentuk monodispilin IP dan memproduksi teori-teori pemerintahan, melainkan hanya menjadi konsumen atas teori-teori yang lahir dari administrasi publik. Dalam pidato guru besar, Prof. Suwargono (2015, 1995) juga berpendapat bahwa IP belum jelas sosoknya. Namun pada akhirnya beliau kembali kepada ilmu bestuur ala Belanda untuk memahami IP. Taliziduhu Ndraha (2003, 2005) juga mengungkap krisis IP, dan secara gigih melakukan rekonstruksi IP. Ia ingin mengeluarkan IP dari ketiak ilmu politik, lalu membuat IP baru dengan label Kybernologi. Pun para sarjana IP maupun Asosiasi Ilmu Pemerintahan berpendapat bahwa IP adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah dengan segala variasinya, Namun konstruksi ini juga salah kaprah, sebab dalam demokrasi, rakyat bukanlah objek yang diperintah oleh pemerintah, melainkan rakyat sebagai pembentuk pemerintah. Secara epistemologis pemahaman itu tidak bisa memberikan sebuah gambaran yang jelas antara siapa yang diperintah dan siapa yang memerintah, baik dari sisi idealisme dan realisme. Begitu juga Sadu Wasistiono (2017) mengkritik hubungan antara yang memerintah dan diperintah memiliki sifat hirarkis yang menyisakan pertanyaan tentang people government dan rakyat (people) ada dimana?

 


3. Mazhab Timoho, yang hendak menyusun ulang IP, dengan orientasi utama pembentukan pemerintah (government making). Konsep ini setara dengan state making yang sudah dikembangkan oleh ilmu politik. Mazhab ini sependapat dengan mazhab Bulaksumur, bahwa IP masih prematur atau hanya label (nomenklatur), tetapi tidak mengikuti Bulaksumur yang meninggalkan IP. Majzab ini berupaya membela dan membuat ulang IP seperti mazhab Bandung-Jatinangor, tetapi berpendapat secara kritis dan berbeda dengan mereka, sebab mereka tidak membuat IP secara utuh melainkan hanya meminjam manajemen publik untuk mengkaji dan mengajarkan IP.
 

Dalam pembentukan pemerintah (governent making), kita akan melihat 5 perspektif, yaitu: 

a. Secara idealis-aksiologis, government making memiliki basis ideologis-filosofis pada kerakyatan (Sila 4 Pancasila) yang bertujuan untuk mencapai keadilan (Sila 5 Pancasila).

b. GM (Goverment Making) berpikir tentang struktur-institusi, tentang bagaimana pemerintah dan parlemen berbuat secara politik dan hukum dengan kerangka konstitusi, legislasi, dan regulasi, bukan dalam pengertian ordering the state semata tetapi melakukan perubahan negara (changing the state), yang memberi sumbangan terhadap transformasi dari rakyat menjadi warga.

c. GM adalah tubuh pengetahuan IP yang memiliki basis monodisiplin secara kuat, yakni sanggup memproduksi teori-teori pemerintah(an), yang tidak lagi sibuk dengan objek formal-material, melainkan menggunakan berbagai perspektif pemerintahan untuk menggambarkan, memahami, dan menjelaskan fenomena hajat hidup orang banyak di luar ranah perkantoran.

d. GM (government making) membedakan IP dengan ilmu politik yang berbicara state making dan administrasi publik yang berbicara policy making. Relasi pemerintah dan negara merupakan pintu masuk bagi perhatian IP.

e. Tubuh pengetahuan IP dapat dibentuk dan diperkaya dengan lima konsep besar yang disebut 5G, yaitu : government (G1), governing (G2), governability(G3), governance(G4), dan governmentality(G5).

 

Sumber :

GOVERNMENT MAKING:
 MEMBUAT ULANG ILMU PEMERINTAHAN
Sutoro Eko Yunanto
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta Jl. Timoho No, 317 Yogyakarta 
sutoro@apmd.ac.id