IP adalah khas Indonesia, yang tidak dikenal di belahan dunia.
Tetapi IP selalu memperoleh stimulus eksternal: kolonialisme,
developmentalisme, dan neoliberalisme. Ia hadir karena keperluan aksiologi
pragmatis, yang bukan untuk menyiapkan kader-kader pemerintah, bukan pula untuk
mencerahkan praktik pemerintahan secara utuh, tetapi sekadar untuk mencetak
birokrasi yang lebih banyak untuk menjaga law and order,
seperti halnya para pangreh praja kolonial untuk menjaga rust en orde. Tujuan aksiologi yang tidak duduk itu tidak dilengkapi dengan
ontologi yang memadai. Para sarjana berputar-putar menentukan objek IP adalah
gejala pemerintahan. Tetapi makna pemerintahan yang disajikan sungguh salah
kaprah dan dangkal.
Pertama, konsep pemerintah lahir dari tradisi Anglo Saxon, tetapi para
sesepuh memahami pemerintahan dari sudut Eropa Kontinental, yakni konsep bestuurkunde yang diimpor dari Negeri Belanda. Adaptasi ini adalah kesalahan
parah. Orang Belanda menyebut bestuurskunde
sebagai administrasi, orang Indonesia menerjemahkan bestuurskunde sebagai pemerintahan.
Kedua,
konstitusi telah menyediakan roh, semangat, dan pengetahuan tentang
“pemerintahan berkedaulatan rakyat”, yang mirip dengan “pemerintahan
republikenisme” ala Anglo Saxon, tetapi para sesepuh malah membuat
“pemerintahan administratif-birokratis” yang diwarisi dari praktik-pengetahuan
kolonial. Konstitusi malah dimonopoli oleh para sarjana hukum
positivis-dogmatis, yang sibuk bicara negara hukum dan supremasi hukum, yang
melihat pemerintahan dengan lensa hakim, bukan lensa pemerintah sebagai
pemegang kedaulatan rakyat.
IP secara epistemologis tidak mempengaruhi, apalagi mencerahkan
praktik, malah sebaliknya, pengetahuan pemerintahan lebih banyak dipengaruhi
oleh praktik. Kolonialisme, yang membentuk negara pegawai, membentuk DNA IP.
Developmentalisme Orde Baru, yang meneruskan kolonialisme, sangat kuat
membentuk IP. Wajah Orde Baru adalah wajah IP. Era reformasi, yang menganut
neoliberalisme, juga diikuti oleh IP, yakni, tidak mencerahkan dan memperkuat
pemerintah(an) rakyat, melainkan menggunakan manajemen publik dan tatakelola
untuk membentuk pemerintahan pasar dan pemerintahan teknokratik.
Meskipun IP mengklaim sebagai disiplin mandiri, tetapi secara de
facto pemerintahan hanya sebuah studi. Ia dikaji dari hukum yang berorientasi regulating, dari administrasi yang berorientasi administering, dari sisi manajemen yang bermakna managing,
dan dari sisi governance yang berbau networking. Kita tidak pernah memperoleh pemahaman utuh tentang governing yang dijalankan pemerintah, sebuah institusi pemegang kedaulatan
rakyat. Mutilasi ini ibarat orang melihat sejumlah pohon yang berbeda-beda,
tetapi tidak pernah melihat hutan. Akibatnya komunitas IP “tidak mengetahui apa
yang diketahui dan apa yang dihafal” tentang pemerintahan.
Masalah ontologi tentu berdampak ke epistemologi. Orang hanya bicara
sejumlah pendekatan untuk melihat pemerintahan serta berbagai metode untuk
memperoleh pengetahuan sistematis. Namun komunitas IP tidak secara
epistemologis menggunakan “pemerintahan” sebagai subjek dan perspektif untuk
melihat, memahami dan menjelaskan politik, administrasi, hukum, kehidupan sosial,
ekonomi, hajat hidup orang banyak, dan lain-lain. Dengan kalimat lain,
pemerintahan adalah objek studi yang dilihat dari banyak disiplin ilmu, tetapi
IP tidak pernah berhasil melihat secara terbalik, yakni melihat halaman ilmu
lain dengan perspektif pemerintahan.
IP masih menghadapi masalah definisi, imajinasi dan posisi, yang
dapat disebut ontologi dan identitas. Ketika IP masih belum beres dengan
ontologi dan identitas, maka jangan harap ia akan memiliki epistemologi yang
kaya dan aksiologi yang relevan. Perkara ontologi dan identitas, sejak dekade
1980-an, muncul tiga cara pandang terhadap IP.
Pertama, para generasi sesepuh pendiri-perintis (seperti Soewargono, S.
Pamudji, Soejamto, E. Koeswara, Bayu Surianingrat, Taliziduhu Ndraha, dan
lain-lain) berhaluan Eropa Kontinental, berpendapat bahwa IP adalah ilmu yang
mandiri, lepas dari ilmu politik, sekaligus setara dengan ilmu-ilmu sosial
lainnya. Mereka menyamakan kemandirian IP setara dengan ilmu administrasi
negara yang sudah lama lepas dari ilmu politik. IP, kata mereka, mempunyai
obyek kajian yang jelas, yakni fenomena pemerintahan, yang dikaji secara
sistematis sesuai kaidah ilmu. Bahkan kata mereka, IP sudah berkembang pesat di
Negeri Belanda dalam bentuk bestuurskunde,
sekaligus sudah diakui luas oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Kedua, generasi ilmuwan politik maupun sarjana administrasi publik
pengikut tradisi Anglo Saxon (seperti Afan Gaffar, Riswandha Imawan, Maswadi Rauf),
yang mendukung eksistensi IP, bukan IP yang otonom, melainkan IP sebagai
bagian/turunan Ilmu Politik. Pandangan ini bisa ditafsirkan bahwa disiplin IP
merupakan sebuah cabang dalam studi Ilmu Politik, sebagaimana dilembagakan
dalam bentuk department of government. “Di AS sendiri tidak ada perbedaan
antara Department of Government dengan Department of Political Science, baik dalam hal kurikulum
maupun fokus studinya”, tutur Maswadi Rauf (2015). Y. Adiwisastra (2015),
seorang guru besar administrasi publik, secara lugas menelanjangi identitas
disiplin IP yang tidak jelas. Ia mengatakan bahwa focus interest IP adalah focus interest ilmu politik. Pemerintahan hanya
merupakan salah satu subdisiplin ilmu politik, dan bestuurkunde merupakan salah satu silabus ilmu administrasi negara. Ia
mengatakan administrasi publik merupakan pemerintahan dalam tindakan. Dengan
demikian, pemerintahan adalah obyek kajian, yang bisa dilihat dari sisi Ilmu
Politik maupun sisi Ilmu Administrasi Publik. Ia secara lugas menambahkan:
“Nama ‘IP’ sekadar menyesuaikan diri dengan selera tertentu, sehingga
dicari-cari justifikasi agar ‘ilmu’ ini tetap ada
Ketiga, kelompok ilmuwan yang berpandangan pemerintahan bukan disiplin
ilmu, melainkan hanya bidang (obyek) kajian. Raadschelders (2015) istilah
pemerintahan merujuk pada objek pengetahuan substantif, sedangkan administrasi
publik mengacu pada studi akademik. Dengan kalimat lain, pemerintahan merupakan
sebuah bidang-obyek studi yang antara lain bisa didekati dengan disiplin
administrasi publik. Dengan menolak “pemerintahan sebagai ilmu”, Pratikno
(2003) berpendapat: “Pada level global, istilah ‘science of
government’ atau ‘governmental science’ sangat sulit (kalau tidak
bisa dibilang tidak bisa) ditemui sebagai terminologi maupun sebagai nama
lembaga
Pendapat “pemerintahan sebagai studi” itu mungkin lebih relevan
ketimbang posisi “IP sebagai turunan ilmu politik” maupun posisi “IP sebagai
disiplin otonom”. Di belahan dunia, science of
government atau governmental science, hanya dikenal sebagai
sebutan dan pelajaran. Pendiri Amerika, George Washington dan John Adams,
beberapa kali bicara science of government (S. Cook
dan W. Earleklay, 2014). Sebutan itu yang mendorong kehadiran sejumlah buku
yang disajikan oleh para penulis Amerika pada dekade 1800-an sebelum lahir ilmu
politik dan studi administrasi pada tahun 1880-an. Sejumlah universitas di
Amerika dan Inggris memiliki institusi “department of
government” atau “department of government and politics”
tetapi tidak mengembangkan “science of government”
sebagai disiplin ilmu, melainkan berisi ilmu politik. Government Department Harvard University
mengembangkan studi politik atas pemerintahan, namun institusi ini sampai
sekarang memiliki sebutan “Eaton Professor of the Science of Government” yang
antara lain disematkan pada sejumlah ilmuwan politik seperti Carl Friedrich,
Charles McIlwain, Samuel Huntington, Robert Bates, Samuel Beer, dan Daniel
Ziblatt.
Di tengah “science of government” yang mati suri, hanya
sebagai sebutan dan pelajaran, studi pemerintahan berkembang pesat.
Pemerintahan sebagai bidang studi menjadi perhatian berbagai disiplin ilmu dan
perspektif, bukan hanya ilmu politik dan administrasi publik, tetapi juga
filsafat, hukum, sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, ekonomi-politik,
manajemen, geografi, dan ekologi. Karena posisi “pemerintahan sebagai studi”
inilah, UGM yang dulu menjadi perintis IP, malah meninggalkan IP dan
menggantikannya dengan “politik dan pemerintahan” sejak 2009.
Mengikuti jejak UGM itu, pada tahun 2014/2015, rezim kodifikasi sempat
merekomendasikan kepada program studi IP di seluruh Indonesia agar mengganti
“IP” menjadi “studi pemerintahan” (governance studies atau governmental studies). Tetapi asosiasi IP
melakukan advokasi yang menolak rekomendasi itu, sehingga sampai sekarang,
tetap berhasil mempertahankan IP, bahkan juga hadir pengakuan tentang gelar
kesarjanaan baik sarjana IP maupun magister IP.
*sumber:
ILMU PEMERINTAHAN:
ANTI PADA POLITIK, LUPA PADA HUKUM, DAN ENGGAN PADA ADMINISTRASI
Sutoro Eko Yunanto
Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Jl. Timoho No, 317 Yogyakarta
toroeko@yahoo.com