Segala Sesuatu Tentang Ilmu Pemerintahan

Monday, January 24, 2022

Ilmu Pemerintahan adalah Khas Indonesia


 

IP adalah khas Indonesia, yang tidak dikenal di belahan dunia. Tetapi IP selalu memperoleh stimulus eksternal: kolonialisme, developmentalisme, dan neoliberalisme. Ia hadir karena keperluan aksiologi pragmatis, yang bukan untuk menyiapkan kader-kader pemerintah, bukan pula untuk mencerahkan praktik pemerintahan secara utuh, tetapi sekadar untuk mencetak birokrasi yang lebih banyak untuk menjaga law and order, seperti halnya para pangreh praja kolonial untuk menjaga rust en orde. Tujuan aksiologi yang tidak duduk itu tidak dilengkapi dengan ontologi yang memadai. Para sarjana berputar-putar menentukan objek IP adalah gejala pemerintahan. Tetapi makna pemerintahan yang disajikan sungguh salah kaprah dan dangkal.  

Pertama, konsep pemerintah lahir dari tradisi Anglo Saxon, tetapi para sesepuh memahami pemerintahan dari sudut Eropa Kontinental, yakni konsep bestuurkunde yang diimpor dari Negeri Belanda. Adaptasi ini adalah kesalahan parah. Orang Belanda menyebut bestuurskunde sebagai administrasi, orang Indonesia menerjemahkan bestuurskunde sebagai pemerintahan.  

Kedua, konstitusi telah menyediakan roh, semangat, dan pengetahuan tentang “pemerintahan berkedaulatan rakyat”, yang mirip dengan “pemerintahan republikenisme” ala Anglo Saxon, tetapi para sesepuh malah membuat “pemerintahan administratif-birokratis” yang diwarisi dari praktik-pengetahuan kolonial. Konstitusi malah dimonopoli oleh para sarjana hukum positivis-dogmatis, yang sibuk bicara negara hukum dan supremasi hukum, yang melihat pemerintahan dengan lensa hakim, bukan lensa pemerintah sebagai pemegang kedaulatan rakyat.

IP secara epistemologis tidak mempengaruhi, apalagi mencerahkan praktik, malah sebaliknya, pengetahuan pemerintahan lebih banyak dipengaruhi oleh praktik. Kolonialisme, yang membentuk negara pegawai, membentuk DNA IP. Developmentalisme Orde Baru, yang meneruskan kolonialisme, sangat kuat membentuk IP. Wajah Orde Baru adalah wajah IP. Era reformasi, yang menganut neoliberalisme, juga diikuti oleh IP, yakni, tidak mencerahkan dan memperkuat pemerintah(an) rakyat, melainkan menggunakan manajemen publik dan tatakelola untuk membentuk pemerintahan pasar dan pemerintahan teknokratik.

Meskipun IP mengklaim sebagai disiplin mandiri, tetapi secara de facto pemerintahan hanya sebuah studi. Ia dikaji dari hukum yang berorientasi regulating, dari administrasi yang berorientasi administering, dari sisi manajemen yang bermakna managing, dan dari sisi governance yang berbau networking. Kita tidak pernah memperoleh pemahaman utuh tentang governing yang dijalankan pemerintah, sebuah institusi pemegang kedaulatan rakyat. Mutilasi ini ibarat orang melihat sejumlah pohon yang berbeda-beda, tetapi tidak pernah melihat hutan. Akibatnya komunitas IP “tidak mengetahui apa yang diketahui dan apa yang dihafal” tentang pemerintahan.

Masalah ontologi tentu berdampak ke epistemologi. Orang hanya bicara sejumlah pendekatan untuk melihat pemerintahan serta berbagai metode untuk memperoleh pengetahuan sistematis. Namun komunitas IP tidak secara epistemologis menggunakan “pemerintahan” sebagai subjek dan perspektif untuk melihat, memahami dan menjelaskan politik, administrasi, hukum, kehidupan sosial, ekonomi, hajat hidup orang banyak, dan lain-lain. Dengan kalimat lain, pemerintahan adalah objek studi yang dilihat dari banyak disiplin ilmu, tetapi IP tidak pernah berhasil melihat secara terbalik, yakni melihat halaman ilmu lain dengan perspektif pemerintahan.

IP masih menghadapi masalah definisi, imajinasi dan posisi, yang dapat disebut ontologi dan identitas. Ketika IP masih belum beres dengan ontologi dan identitas, maka jangan harap ia akan memiliki epistemologi yang kaya dan aksiologi yang relevan. Perkara ontologi dan identitas, sejak dekade 1980-an, muncul tiga cara pandang terhadap IP.

Pertama, para generasi sesepuh pendiri-perintis (seperti Soewargono, S. Pamudji, Soejamto, E. Koeswara, Bayu Surianingrat, Taliziduhu Ndraha, dan lain-lain) berhaluan Eropa Kontinental, berpendapat bahwa IP adalah ilmu yang mandiri, lepas dari ilmu politik, sekaligus setara dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Mereka menyamakan kemandirian IP setara dengan ilmu administrasi negara yang sudah lama lepas dari ilmu politik. IP, kata mereka, mempunyai obyek kajian yang jelas, yakni fenomena pemerintahan, yang dikaji secara sistematis sesuai kaidah ilmu. Bahkan kata mereka, IP sudah berkembang pesat di Negeri Belanda dalam bentuk bestuurskunde, sekaligus sudah diakui luas oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia.

Kedua, generasi ilmuwan politik maupun sarjana administrasi publik pengikut tradisi Anglo Saxon (seperti Afan Gaffar, Riswandha Imawan, Maswadi Rauf), yang mendukung eksistensi IP, bukan IP yang otonom, melainkan IP sebagai bagian/turunan Ilmu Politik. Pandangan ini bisa ditafsirkan bahwa disiplin IP merupakan sebuah cabang dalam studi Ilmu Politik, sebagaimana dilembagakan dalam bentuk department of government. “Di AS sendiri tidak ada perbedaan antara Department of Government dengan Department of Political Science, baik dalam hal kurikulum maupun fokus studinya”, tutur Maswadi Rauf (2015). Y. Adiwisastra (2015), seorang guru besar administrasi publik, secara lugas menelanjangi identitas disiplin IP yang tidak jelas. Ia mengatakan bahwa focus interest IP adalah focus interest ilmu politik. Pemerintahan hanya merupakan salah satu subdisiplin ilmu politik, dan bestuurkunde merupakan salah satu silabus ilmu administrasi negara. Ia mengatakan administrasi publik merupakan pemerintahan dalam tindakan. Dengan demikian, pemerintahan adalah obyek kajian, yang bisa dilihat dari sisi Ilmu Politik maupun sisi Ilmu Administrasi Publik. Ia secara lugas menambahkan: “Nama ‘IP’ sekadar menyesuaikan diri dengan selera tertentu, sehingga dicari-cari justifikasi agar ‘ilmu’ ini tetap ada

Ketiga, kelompok ilmuwan yang berpandangan pemerintahan bukan disiplin ilmu, melainkan hanya bidang (obyek) kajian. Raadschelders (2015) istilah pemerintahan merujuk pada objek pengetahuan substantif, sedangkan administrasi publik mengacu pada studi akademik. Dengan kalimat lain, pemerintahan merupakan sebuah bidang-obyek studi yang antara lain bisa didekati dengan disiplin administrasi publik. Dengan menolak “pemerintahan sebagai ilmu”, Pratikno (2003) berpendapat: “Pada level global, istilah ‘science of government’ atau ‘governmental science’ sangat sulit (kalau tidak bisa dibilang tidak bisa) ditemui sebagai terminologi maupun sebagai nama lembaga

Pendapat “pemerintahan sebagai studi” itu mungkin lebih relevan ketimbang posisi “IP sebagai turunan ilmu politik” maupun posisi “IP sebagai disiplin otonom”. Di belahan dunia, science of government atau governmental science, hanya dikenal sebagai sebutan dan pelajaran. Pendiri Amerika, George Washington dan John Adams, beberapa kali bicara science of government (S. Cook dan W. Earleklay, 2014). Sebutan itu yang mendorong kehadiran sejumlah buku yang disajikan oleh para penulis Amerika pada dekade 1800-an sebelum lahir ilmu politik dan studi administrasi pada tahun 1880-an. Sejumlah universitas di Amerika dan Inggris memiliki institusi “department of government” atau “department of government and politics” tetapi tidak mengembangkan “science of government” sebagai disiplin ilmu, melainkan berisi ilmu politik. Government Department Harvard University mengembangkan studi politik atas pemerintahan, namun institusi ini sampai sekarang memiliki sebutan “Eaton Professor of the Science of Government” yang antara lain disematkan pada sejumlah ilmuwan politik seperti Carl Friedrich, Charles McIlwain, Samuel Huntington, Robert Bates, Samuel Beer, dan Daniel Ziblatt.

Di tengah “science of government” yang mati suri, hanya sebagai sebutan dan pelajaran, studi pemerintahan berkembang pesat. Pemerintahan sebagai bidang studi menjadi perhatian berbagai disiplin ilmu dan perspektif, bukan hanya ilmu politik dan administrasi publik, tetapi juga filsafat, hukum, sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, ekonomi-politik, manajemen, geografi, dan ekologi. Karena posisi “pemerintahan sebagai studi” inilah, UGM yang dulu menjadi perintis IP, malah meninggalkan IP dan menggantikannya dengan “politik dan pemerintahan” sejak 2009.

Mengikuti jejak UGM itu, pada tahun 2014/2015, rezim kodifikasi sempat merekomendasikan kepada program studi IP di seluruh Indonesia agar mengganti “IP” menjadi “studi pemerintahan” (governance studies atau governmental studies). Tetapi asosiasi IP melakukan advokasi yang menolak rekomendasi itu, sehingga sampai sekarang, tetap berhasil mempertahankan IP, bahkan juga hadir pengakuan tentang gelar kesarjanaan baik sarjana IP maupun magister IP.

 

*sumber:

ILMU  PEMERINTAHAN:
ANTI PADA POLITIK, LUPA PADA HUKUM, DAN ENGGAN PADA ADMINISTRASI

Sutoro Eko Yunanto
Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Jl. Timoho No, 317 Yogyakarta 
toroeko@yahoo.com

0 comments:

Post a Comment