PERBANDINGAN PEMERINTAHAN YANG MENGANUT SISTEM KEAGAMAAN (NEGARA VATIKAN DAN NEGARA IRAN)
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunianya nya sehingga menyelesaikan Makalah “perbandingan pemerintahan yang menganut sistem keagamaan (Arab Saudi Dan Iran)”. ini dapat diselesaikan tepat waktu. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Perbandingan Ilmu Pemerintahan.
Sholawat serta salam saya haturkan kepada junjungan kita yakni Nabi Besar Muhammad SAW dan para sahabatnya , yang telah memberikan tauladan baik sehingga akal dan fikiran penyusunaan mampu menyelesaikan Makalah perbandingan pemerintahan yang menganut sistem keagamaan (Arab Saudi Dan Iran)”. semoga kita termasuk umatnya yang kelak mendapatkan syafa’at dalam menuntut ilmu .
Meski penulis telah menyusun makalah ini dengan maksimal, tidak menutup kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian.
Akhirnya penulis menyadari bahwa laporan akhir ini masih jauh mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya ,namun saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri dan para pembaca pada umum.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………..1
KATA PENGANTAR……………………………………………………………2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….4
A.LATAR BELAKANG………………………………………………………...4
B.RUMUSAN MASALAH……………………………………………………...5
C.TUJUAN…………………………………………………………………….....5
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………...6
A.PENGERITIAN SISTEM PEMERINTAHAN……………………………….6
B.TEORI PERBANDINGAN POLITIK………………………………………...7
C.KONSEP TEOKRASI….……………………………………………………...8
D.KONSEP NEGARA……........………………………………………………...9
E.PERBANDINGAN NEGARA VATIKAN DAN IRAN……………………...11
BAB III PENUTUP……………………………………………………………...17
A.KESIMPULAN……………………………………………………………….17
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....19
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Kota Vatikan merupakan sebuah negara di Eropa Selatan tepatnya berada di dalam Kota Roma, Italia, yang memiliki keistimewaan dengan posisinya sebagai pusat agama Katolik dunia. Umat Katolik menjadikan Negara Kota Vatikan sebagai poros dan kiblat dalam menjalankan peribadatannya. Negara Kota Vatikan didirikan setelah penandatanganan Pakta Lateran antara Takhta Suci dan Italia pada tanggal 11 Februari 1929, dan diratifikasi pada tanggal 7 Juni 1929. Istilah Vatikan digunakan pada zaman kuno untuk mengidentifikasi daerah berawa di tepi kanan Sungai Tiber, antara Jembatan Milvio dan Jembatan Sixtus sekarang[1]. Selama monarki dan zaman republikan, daerah itu dikenal sebagai Ager Vaticanus. Ini meluas ke utara sejauh mulut Cremera dan selatan setidaknya sejauh Janiculum. Di zaman Kekaisaran Romawi, dari abad ke-2 M., toponim Vaticanum diaplikasikan pada area yang kira-kira sesuai dengan Kota Vatikan sekarang Selama periode Romawi, daerah di luar kota Roma direklamasi. Nero (54-68 M) membangun vila-vila, taman, dan sebuah nekropolis hingga menjadi sebuah sirkus kecil. Pada 324 M, Kaisar Konstantin membangun sebuah gereja besar hingga secara berangsur sirkus kecil Nero pun runtuh. Adapun cerita seorang Petrus yang menderita akibat penganiayaan yang diperintahkan Nero telah mencuri perhatian peziarah Kristen, dan kebanyakan dari mereka ingin untuk berada di dekat Santo Petrus. Untuk mengenang Peter, Leo IV (847-855) membangun dinding "sivitas" bernama "Leonina" yang menjadi pusat spiritual Romawi abad pertengahan dan Renaisans[2].
Dalam membahas keistimewaan negara dari perspektif agama, Republik Islam Iran merupakan sebuah negara di Timur Tengah yang memiliki keunikan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Republik Islam Iran lahir sebagai negara agama pasca terjadinya Revolusi. Iran tahun 1979. Sebelum Revolusi Iran, Republik Islam Iran dikenal dengan nama Iran atau Persia. Pada 3 Februari 1979, Khomeini mengumumkan pembentukan “Dewan Revolusi” dan meminta Syahpur Bakhtiar mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri. Jika tidak, Khomeini mengancam akan ada perang suci. Syahpur pun akhirnya mengundurkan diri. Dinasti Pahlevi yang didirikan pada 1925, akhirnya dapat ditumbangkan dengan kekuatan revolusi. Tumbangnya Dinasti ini sekaligus juga tumbangnya sistem monarki yang sudah 2000 tahun diterapkan di Iran. Revolusi Iran tersebut mengandung makna yang bersifat global. Untuk pertama kalinya di era modern, tokoh agama (ulama) mampu dan berhasil melawan sebuah rezim modern, dan mengambil alih kekuasan negara[3] Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran digolongkan ke dalam negara berasaskan agama. Yang menjadi salah satu determinannya yaitu wilayah atau geografis. Negara Kota Vatikan sendiri berada di dalam Kota Roma, Italia yang sangat besar pengaruhnya dari zaman Kekaisaran Romawi. Sedangkan Republik Islam Iran berada di daerah Timur Tengah yang sebagian wilayahnya berbasis agama Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis mengambil pokok permasalahan “Bagaimana perbedaan penerapan sistem politik teokrasi di Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran?”
C. TUJUAN
Dalam penulisan yang berjudul “Perbandingan Sistem Politik Teokrasi di Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran” ini memiliki tujuan, yaitu:2. Mendeskripsikan perbandingan penerapan sistem politik teokrasi di Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran.
BAB II
PEMBAHASAAN
A. PENGERTIAN SISTEM PEMERINTAHAN
Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga kestabilan Negara, baik itu secara internal maupun eksternal. Secara luas sistem pemerintahan itu berarti menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem yang kontiniu. Sampai saat ini hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana penerapannya kebanyakan sudah mendarah daging dalam kebiasaan hidup masyarakatnya dan terkesan tidak bisa diubah. Jika suatu pemerintahan mempunyai sistem pemerintahan yang statis dan berlangsung dalam waktu yang lama maka akan timbul pergesekan dari pihak minoritas yang merasa normalitasnya terganggu. Seiring dengan tumbuhnya ide – ide dan pemikiran baru seiring perkembangan zaman di suatu komunitas minoritas, tidak menutup kemungkinan di beberapa negara terjadi tindakan separatisme dan hal ini mendapat dukungan dari mayoritas yang menganggap sistem pemerintahan yang diterapkan memberatkan rakyat di negara tersebut sehingga memuluskan gerakan separatisme. Secara sempit, sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.
1.1 Tiga Pengertian Sistem Pemerintahan (Menurut HukumTata Negara)
(1) Sistem pemerintahan dalam arti sempit, yakni sebuah kajian yang melihat hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam sebuah negara. Berdasar kajian ini menghasilkan dua model pemerintahan yakni, sistem parlementer dan sistem presidensial.
(2) Sistem pemerintahan dalam arti luas, yakni suatu kajian pemerintahan negara yang betolak dari hubungan antara semua organ negara, termasuk hubungan antara pemerintah pusat dengan bagian-bagian yang ada di dalam negara. Bertitik tolak dari pandangan ini sistem pemerintahan negara dibedakan menjadi negara kesatuan, negara serikat (federal), dan negara konfederasi.
(3) Sistem pemerintahan dalam arti sangat luas, yakni kajian yang menitik beratkan hubungan antara negara dengan rakyatnya. Berdasar kajian ini dapat dibedakan sistem pemerintahan monarki, pemerintahan aristokrasi dan pemerintahan demokrasi.
1.2 Sistem Pemerintahan Menurut Para Ahli
1.2.1 Aristoteles, membagi bentuk pemerintahan menurut jumlah orang yang memerintah dan sifat pemerintahannya menjadi enam yakni monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, republik (politea) dan demokrasi.
1.2.2 Polybius, membagi bentuk pemerintahan menurut jumlah orang yang memerintah serta sifat pemerintahannya. Berdasar sudut pandang ini dapat dibedakan enam jenis pemerintahan, yakni: monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi dan anarki (oklokrasi).
1.2.3 Kranenburg, menyatakan adanya ketidak pastian penggunaan istilah monarki dan republik untuk menyebut bentuk negara atau bentuk pemerintahan.
1.2.4 Leon Duguit, membagi bentuk pemerintahan berdasarkan cara penunjukan kepala negaranya. Yakni “sistem republik” kepala negaranya diangkat lewat pemilihan, sedangkan “sistem monarki” kepala negaranya diangkat secara turun temurun.
1.2.5 Jellinec, membagi bentuk pemerintahan menjadi dua yakni republik dan monarki. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Leon Duguit.
B. Teori Perbandingan Politik
Ilmu politik pada dasarnya mencakup banyak hal, tetapi dalam kajiannya memiliki beberapa studi khusus, seperti studi perbandingan. Perbandingan politik telah lama menjadi studi politik. Banyak ahli atau pun comparatism yang telah menganalisa berbagai perbedaan melalui prosedur dalam pemerintahan negara, termasuk sistem politiknya. Dalam memperbandingkan lembaga-lembaga dan proses-proses itu biasanya melalui 3 (tiga) tahap. Salah satu dari tahapan tersebut yaitu tahapan kegiatan deskriptif. Ahli politik mengarahkan perhatiannya pada keseluruhan sistem politik atau pun bagian-bagian sistem itu, seperti badan legislatif, birokrasi, sistem kepartaian, dan lembaga politik lain[4].
Perbandingan politik menjadi suatu kajian yang memiliki kedudukan cukup penting dalam ranah ilmu politik. Dalam konteks ini, teori perbandingan politik dapat diaplikasikan dengan “Perbandingan Sistem Politik Teokrasi di Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran”, di mana dalam menelaah kedua negara tersebut melalui deskripsi terkait bagian-bagian dari sistem politik teokrasi di Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran.
C. Konsep Teokrasi
Teokrasi identik dengan kedaulatan Tuhan di mana kekuasaan dan otoritas berada di tangan seorang ahli agama yang dipercaya sebagai pemimpin atas representasi Tuhan. Pada awalnya, konsep teokrasi muncul sebagai konsep sederhana ketika seorang ulama atau ahli agama yang memerintah sebuah negara. Di samping itu, teokrasi cenderung dalam bentuk pemerintahan yang monarki dengan membedakan kepala negara dan kepala pemerintahan. Adapun penjelasan tentang hubungan antara negara dengan agama oleh seorang filsuf dan ahli politik dengan nuansa “ketuhanan”nya yaitu Thomas Aquinas sebagai berikut.
Thomas Aquinas merupakan seorang filsuf yang banyak membicarakan Tuhan, alam, hukum, politik dan juga negara. Pada mulanya Aquinas merupakan seorang yang seorang filsuf yang mendalami agama Kristen secara mandalam dan pemikirannya selalu berkaitan dengan hal-hal mengenai Tuhan. Hal tersebutlah kemudian yang juga menyebabkan banyak pemikiranpemikiran Aquinas mengenai negara, politik dan hukum lebih mengacu karena adanya agama, atau lebih tepatnya Tuhan[5]. Dalam konteks ini, Aquinas sendiri memberikan perimbangan antara negara dan gereja. Negara hendaknya dipimpin oleh seorang raja dalam masalah keduawian, sedangkan gereja dikuasai penuh oleh seorang Paus.
Thomas Aquinas dalam tulisannya De Regimine Principum memiliki pandangan mengenai negara, yaitu negara memiliki fungsi spiritual keagamaan yang sakral, dan negara bersifat hierarki. Maksudnya yaitu ada yang memerintah, menata pemerintahan dan ada yang mentaatinya. Dalam hubungannya dengan kekuasaan Tuhan, tujuan akhir hidup manusia adalah kesenangan dan kebaikan terhadap Tuhan, maka contoh dari kekuasaan Tuhan di dunia ini adalah pemuka agama, paus, petrus,dan lain-lain[6]Aquinas telah mengungkapkan bahwa negara dan agama tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan.
Pada masa sekarang, teokrasi dalam definisi sebenarnya sudah jarang negara yang menerapkan sistem tersebut. Adapun jenis teokrasi yang diterapkan oleh beberapa negara yaitu teokrasi monarki elektif. Teokrasi monarki elektif yaitu sistem pemerintahan di mana hukum dan aturan sebuah negara berasaskan agama, dan dipimpin oleh seorang kepala negara ahli agama yang dipilih melalui pemilihan khusus, bukan turun temurun. Teokrasi lain yang juga menjadi alternatif beberapa negara dalam menerapkan sistem pemerintahannya yaitu teodemokrasi. bermakna bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi kekuasaan itu dibatasi norma-norma yang datangnya dari Tuhan[7]
D. Konsep Negara
Negara merupakan sebuah kelompok sosial yang mendiami suatu wilayah yang diorganisasi di bawah pemerintah atau lembaga politik berdaulat yang memiliki tujuan atas kepentingan nasionalnya. Adapun unsurunsur suatu negara menurut Konvensi Montevideo, meliputi rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat, kesanggupan untuk berhubungan dengan negara lain, serta pengakuan dari negara lain (deklaratif).
a. Rakyat
Rakyat merupakan unsur utama dalam suatu negara, mereka adalah semua orang yang ada di wilayah suatu negara dan taat pada peraturan di negara tersebut. Rakyat sendiri dibedakan menjadi penduduk dan bukan penduduk serta warga negara dan bukan warga negara. 1.) Penduduk merupakan orang yang berdomisili atau menetap dalam suatu Negara 2.) Bukan penduduk merupakan orang-orang yang sementara waktu berada dalam suatu negara, contohnya para turis. 3.) Warga negara merupakan orang-orang yang berdasarkan hukum menjagi anggota suatu negara. 4.) Bukan warga negara merupakan orang-orang yang berada dalam suatu negara, tetapi secara hukum tidak menjadi anggota negara yang bersangkutan, namun tunduk pada pemerintahan di mana mereka berada, contohnya duta besar[8].
b. Wilayah
Wilayah suatu negara merupakan kesatuan ruang yang meliputi daratan, lautan, udara, dan wilayah ekstrateritorial. 1.) Daratan Daratan ialah tempat bermukimnya warga atau penduduk suatu negara. Wilayah daratan suatu negara, mempunyai batas-batas tertentu yang diatur oleh hukum negara dan perjanjian dengan negara tetangga. 2.) Udara Udara merupakan seluruh ruang yang berada di atas batas wilayah suatu negara, baik daratan ataupun lautan. 3.) Lautan Lautan merupakan wilayah suatu negara yang terdiri atas laut teritorial, zona tambahan, ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), dan landasan benua (kontinen). Laut teritorial suatu negara merupakan batas sepanjang 12 mil laut diukur dari garis pantai. Zona tambahan yaitu 12 mil dari garis luar lautan teritorial atau sekitar 24 mil dari garis pantai suatu negara. ZEE merupakan wilayah lautan sepanjang 200 mil laut diukur dari garis pantai. Sedangkan, landasan benua ialah wilayah lautan yang terletak di luar teritorial, berjarak sekitar 200 mil diukur dari garis pantai yang meliputi dasar laut dan daerah di bawahnya[9]
c. Ekstrateritotial Wilayah
ekstrateritorial suatu negara ialah tempat di mana menurut hukum internasional diakui sebagai wilayah kekuasaan suatu negara meskipun letaknya berada di negara lain. Contohnya, kantor kedutaan besar Indonesia di luar negeri disebut sebagai wilayah ekstrateritorial Indonesia.
d. Pemerintah yang berdaulat
Pemerintahan yang berdaulat dapat dikatakan sebagai aktor atau dalam konteks ini disebut pemerintah yang memiliki kekuasaan atau kewenangan tertinggi untuk mengatur, menjaga, dan menjalankan roda pemeritahan.
e. Kesanggupan untuk berhubungan dengan negara lain
Unsur kesanggupan untuk berhubungan dengan negara lain artinya suatu negara mampu melakukan kerja sama atau menjalin hubungan dengan negara lain di berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, dan politik.
f. Pengakuan dari negara lain
Adapun unsur deklaratif dari suatu negara yaitu adanya pengakuan dari negara lain. Hal ini menjadi bukti legal akan terbentuknya suatu negara sehingga dapat terhindar dari berbagai ancaman dari negara lain. Atas pengakuan ini pula selanjutnya suatu negara dapat bekerja sama dengan negara lain
E. Perbandingan Negara Vatikan dan Iran
A. Jenis Teokrasi
Teokrasi merupakan sebuah sistem politik yang pada praktik menjalankan pemerintahannya berpegang pada kedaulatan Tuhan. Secara fundamental, teokrasi memang dititikberatkan pada wakil Tuhan dan pemimpin umat. Namun pada zaman sekarang, teokrasi yang murni sudah jarang, atau bahkan tidak ada negara yang menerapkan sistem politik tersebut. Lain halnya dengan dua negara, seperti Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran yang memiliki sistem teokrasi dengan jenis teokrasinya masing-masing.
Negara Kota Vatikan merupakan monarki non-turun temurun di mana kepala negara yang berdaulat adalah seorang Paus[10]. Hal tersebut menunjukkan bahwa Negara Kota Vatikan tergolong dalam monarki elektif teokratis. Monarki elektif teokratis sebagian besar seperti negara monarki pada umumnya, namun ada unsur Ketuhanan yang diterapkan dalam jenis sistem politik ini. Penerapan dalam pemerintahannya seperti kerajaan, namun sangat kental dengan unsur Ketuhanan di mana Katolik menjadi fokus agama yang dianut oleh negara ini. Disebut monarki non-turun temurun dikarenakan seorang kepala negara yang berusia seumur hidup namun tidak diberikan kepada turunannya, melainkan kepada seorang imam yang berilmu serta memiliki keimanan “Katolik” yang kuat.
Sedangkan Republik Islam Iran cenderung pada sistem politik teokrasi jenis teodemokrasi. Teodemokrasi merupakan perpaduan antara unsur Ketuhanan dan kemanusiaan, yang dalam konteks ini, Republik Islam Iran masih melibatkan rakyat dalam menjalankan pemerintahannya. Terlihat dalam berbagai pemilihan umum serta eksistensi partai politik di Republik Islam Iran menunjukkan bahwa peran rakyat masih sangat berpengaruh dalam pemeritahan negara tersebut. Terlepas dari itu, unsur Ketuhanan dengan nama negara Islam serta pemimpin negara diharuskan memiliki jiwa pemimpin serta iman Islam yang mumpuni.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teokrasi yang digunakan oleh Negara Kota Vatikan tergolong dalam monarki elektif teokratis. Sedangkan Republik Islam Iran cenderung pada sistem politik teokrasi jenis teodemokrasi. Kedua negara ini menjalankan politik dan pemerintahannya dengan sistem politik “Ketuhanan”, tetapi dengan modelnya masing masing. Dalam mengimplementasikan sistem politik ini, Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran menunjukkannya melalui sistem pemilihan kepala negara, eksistensi partai politik, dan decision making.
1. Sistem pemilihan kepala negara
Kepala negara merupakan orang yang memiliki otoritas tertinggi dalam sebuah negara. Dalam konteks ini, pemilihan seorang kepala negara dipengaruhi oleh sistem politik yang dianut oleh masing-masing negara. Hal ini menjadi bagian penting dalam perjalanan pemerintahan demi terciptanya sebuah negara yang sejahtera, karena pemimpin negara sangat berpengaruh terhadap tujuan sebuah negara/bangsa tersebut. Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran yang merupakan dua negara dengan model sistem politik teokrasi memiliki metode atau sistem tersendiri dalam menentukan seorang kepala negara. Adapun uraian terkait sistem pemilihannya adalah sebagai berikut
Negara Kota Vatikan Pada dasarnya Negara Kota Vatikan menganut sistem politik teokrasi, meskipun yang secara spesifik digolongkan ke dalam sistem politik monarki elektif teokratis. Hal ini dipengaruhi oleh sistem pemilihan kepala negara yang sekaligus sebagai Paus (pemimpin umat Katolik dunia). Pemilihan tersebut dalam Negara Kota Vatikan disebut konklaf. Pemilihan seorang kepala negara juga sekaligus sebagai Paus dilakukan oleh para kardinal dari seluruh penjuru dunia yang berada di Negara Kota Vatikan.
Setelah meninggalnya Paus, Kardinal Camerlengo yang sementara menggantikan posisi Paus sampai pemilihan selesai dan nama Paus muncul untuk memimpin negara juga umat Katolik. Ketika konklaf berlangsung, dimulai dengan misa kudus di pagi hari, dan pada siang hari melakukan pemberkatan di Basilika, kemudian menuju sebuah ruang tertutup bernama Kapel Sistina. Konklaf ini diikuti oleh 120 orang kardinal yang berusia di bawah 80 tahun, serta perwakilan dari Dewan Kepausan dan Badan Legislatif Negara Kota Vatikan. Konklaf di Kapel Sistina ini bersifat sangat rahasia. Acara dilakukan dengan pemilihan oleh setiap kardinal 2 (dua) kali di pagi hari dan 2 (dua) kali di sore hari. Jika konklaf belum menemukan hasil maka hari selanjutnya dilakukan kembali hal yang sama. Namun ketika setelah 3 (hari) belum juga dapat mencapai suara dua pertiga plus satu, maka konklaf ditunda selama 1 (satu) hari untuk digunakan sebagai waktu berdoa dan meditasi. Setelahnya konklaf dilanjutkan kembali dengan pemilihan setiap kardinal sebanyak 14 kali di mana 7 sesi pertama kemudia jeda waktu istirahat, dan selanjutnya 7 sesi kedua untuk pemilihan kembali.
b. Republik Islam Iran
Memiliki persamaan dalam sistem politik teokrasi, namun teokrasi Republik Islam Iran tergolong ke dalam sistem politik teodemokrasi. Dalam pemilihan seorang kepala negara atau dalam konteks ini yaitu Wali Faqih, Republik Islam Iran cenderung pada Dewan Ahli (Assembly of Expert) untuk memilih Wali Faqih tersebut. Dewan Ahli sendiri merupakan para ulama yang berkewarganegaraan Iran dan dipercayai untuk memilih Wali Faqih sebagai kepala negara dan imam di Republik Islam Iran. Wali Faqih ini diangkat oleh sebuah majelis ulama yang disebut Dewan Ahli. Dewan ahli itu sendiri di angkat oleh rakyat melalui pemilihan umum. Hal ini ditunjukkan oleh konstitusi Iran, di mana Pasal 107 menyebutkan, bahwa ahli-ahli yang dipilih rakyat akan menunjuk salah seorang faqih yang memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin guna mengemban jabatan. Jika tidak ada seseorang yang memenuhi persyaratan, Dewan Ahli yang sama akan menunjuk tiga atau lima marja’’ yang memiliki persyaratan yang diperlukan untuk membentuk Wali Faqih. Dewan Ahli (Majlis-i Khubregan) yang disebut-sebut dalam pasal ini beranggotakan 72 ahli hukum Islam yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang khusus dipersiapkan untuk tujuan ini[11]
Jelas terlihat perbedaan dalam sistem pemilihan kepala negara di Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran terkait pemilih dan sistemnya yang keduanya memiliki peraturan maupun metodenya masing-masing. Hal ini ditunjukkan oleh Negara Kota Vatikan dengan konklafnya yang melibatkan para kardinal dari berbagai negara, dan kandidat seorang Paus tidak harus berkewarganegaraan Vatikan. Sedangkan Republik Islam Iran melakukan pemilihan seorang kepala negara dengan mempercayai sebuah dewan yang bernama Dewan Ahli yang notabenenya merupakan warga negara Iran untuk memilih kepala negaranya, serta yang menjadi Wali Faqih harus berkewarganegaraan Vatikan. Paus Negara Kota Vatikan dipilih oleh Dewan Kardinal dari berbagai negara. Ini merupakan suatu kesatuan dari pemeluk agama Katolik sedunia. Sedangkan Wali Faqih Republik Islam Iran dipilih oleh Majelis Ahli yang merupakan perangkat negara Republik Islam Iran sendiri.
2. Eksistensi partai politik
Mayoritas negara, kelompok kepentingan, termasuk partai politik menjadi sebuah wadah penting dalam berpolitik dan untuk mencapainya tujuan serta kepentingannya. Namun hal itu tidak berlaku di beberapa negara di dunia, salah satunya yaitu Negara Kota Vatikan. Negara berbasis Katolik ini tidak memiliki partai politik. Meskipun memiliki persamaan sistem politik dengan unsur Ketuhanan, lain halnya dengan Republik Islam Iran yang masih terdapat partai politik yang aktif di negaranya.
Salah satu determinan ketidakadaan partai politik di Negara Kota Vatikan yaitu perubahan visi tentang politik menjauhkan Gereja dari keinginan menciptakan partai karena partai dan kekuasaan politis hanya bersifat sarana untuk melayani manusia sebagai pusat politik. Kepada warga Gereja mengingatkan agar perbedaan pandangan yang terjadi karena perbedaan platform partai diterima dalam sikap saling menghargai[12] Dalam hal ini Negara Kota Vatikan memang tidak memiliki partai politik, dan terkait politik dan pemerintahannya berada di tangan Paus dan Kuria Roma. Partai politik bukanlah menjadi sesuatu yang elemen penting dalam sebuah negara. Ini merupakan sebuah alasan juga dalam ketiadaan partai politik di Negara Kota Vatikan.
Berbeda dengan Negara Kota Vatikan, Republik Islam Iran justru memiliki multipartai, di antaranya Alliance of Builders of Islamic Iran, Islamic Coalition Party, dan Executives of Construction Party. Partai politik di Republik Islam Iran masih sangat berpengaruh, terutama dalam pemilihat perangkat pemerintah, termasuk presiden. Di Republik Islam Iran, seorang kandidat presiden yang mencalonkan diri atau mayoritas dicalonkan partai politik atau organisasi sosial kemasyarakatan lain, kemudian harus menjalani berbagai tahapan proses penjaringan sebelum resmi menjadi capres yang berhak ikut pemilu. Keputusan akhir apakah seseorang memenuhi kualifikasi atau tidak untuk menjadi capres ditetapkan oleh lembaga tinggi negara yang disebut Dewan Pelindung (Guardian Council).[13]
Mengambil data Presiden Hassan Rouhani, kepala eksekutif Republik Islam Iran itu berasal dari partai politik. Rouhani terpilih dari hasil pemilihan umum oleh rakyat. Dengan begiti, peran partai politik di Republik Islam Iran cukup besar dalam pelaksanaan pemerintahan maupun dalam menjalankan sistem politiknya. Pembentukan sebuah partai politik menjadi salah satu hak kebebasan berserikat dalam hak-hak semokratis rakyat Republik Islam Iran. Selain itu, partai politik juga dijadikan sebagai media dalam mengkritisi kinerja pemerintah. Partai politik pula dapat dijadikan sebagai jalan dalam memberikan tekanan terhadap pemerintah[14].
3. Desicion Making
Dalam pembuatan sebuah kebijakan dan pemgambilan sebuah keputusan di berbagai negara akan bervariatif. Termasuk di Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran, meskipun keduanya memiliki kesamaan dalam sistem politik teokrasinya, tetapi dalam pembuatan kebijakan kedua negara tersebut memiliki perbedaan. Pada umumnya, dalam pembuatan sebuah kebijakan memiliki tempatnya sendiri-sendiri, dan di bidangnya masing-masing.
Dalam pembahasan decision making di dua negara teokrasi tetapi memiliki stylenya masing-masing. Paus di Negara Kota Vatikan memang tidak hanya sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai pemimpin umat Katolik dunia. Dalam pembuatan sebuah kebijakan, Paus yang memiliki otoritas tertinggi Negara Kota Vatikan mutlak memiliki wewenang dalam pembuatan dan pengambilan kebijakan serta keputusan negara. Tanpa adanya pertimbangan dari berbagai pihak, termasuk pihak eksekutif/presiden maupun yang lainnya.
Paus memegang penuh atas kebijakan dan keputusan yang akan diambil. Martinus Sardi, Dr., M.A yang merupakan seorang akademisi di bidang hukum sempat diwawancarai oleh peneliti. Bapak Martin ini pernah studi di salah satu universitas milik Negara Kota Vatikan, dan menetap selama lebih kurang 15 tahun. Juga pernah mendapatkan mandat dalam pelayanan Gereja.
Paus memiliki wewenang untuk menentukan siapa yang layak menempati posisi kardinal, Pauslah yang berperan penting dalam pemilihan kardinalkardinal dari banyak negara. Begitupun dalam pemilihan para uskup, semua otoritas ada di tangan Paus. Dengan begitu, Paus menjadi satu-satunya pemegang keputusan tanpa pertimbangan dari siapapun. Hingga Presidenpun ditentukan oleh Paus.
Lain halnya dengan Republik Islam Iran, meskipun Wali Faqih memegang kekuasaan tertinggi Republik Islam Iran, namun Wali Faqih tetap mempertimbangkan atas fatwa-fatwa dari para imam lain. Keterlibatan berbagai pihak seperti lembagai eksekutif dan legislatif masih terlihat dalam penerapan sistem teodemokrasinya. Bahkan rakyatnyapun memiliki andil yang cukup besar.
Pasal 115 Konstitusi menetapkan bahwa Presiden akan dipilih berdasarkan kepribadian agama dan politik, serta dari asal dan kewarganegaraan Iran, dan memiliki reputasi dan kejujuran yang baik. Seorang Presiden juga harus saleh, setia pada dasar-dasar Republik Islam Iran dan agama resmi negara tersebut. Presiden terpilih secara langsung oleh rakyat Republik Islam Iran untuk masa jabatan empat tahun.[15] Hal tersebut menunjukkan bahwa keputusan seorang Wali Faqih dapat dipengaruhi bahkan menjadi hak pihak lain dalam menentukan keputusan tersebut.
UUD RII Pasal 114 tercantum bahwa, Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Dia secara berturut-turut diperbolehkan mengikuti mengikuti pemilihan kembali sekali lagi. Kemudian pada UUD RII Pasal 115 tercantum bahwa, Presiden harus dipilih di antara tokoh agama dan politisi yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: asli Iran, warga negara Iran, memiliki kapasitas administrasi dan kepemimpinan, memiliki masa lalu yang baik, jujur, bertakwa, beriman, dan berpegang teguh pada landasan Republik Islam Iran dan mazhab resmi Negara.
Berdasarkan data-data tersebut diketahui memang ada pihak berwenang lain di samping seorang Wali Faqih. Otoritas pengangkatan sipil, militer, kehakiman dan keagamaan ada di tangannya. Namun, di samping itu ada peran dari ulama-ulama, dan fatwa-fatwa para ulama tersebut untuk dipertimbangkannya.
Dapat dikatakan bahwa di Negara Kota Vatikan, Paus langsung memutuskan kebijakan tanpa menunggu pertimbangan dari lembaga eksekutif legislatif, maupun yudikatif. Sedangkan di Republik Islam Iran, Wali Faqih hanya memberikan fatwa, dan melibatkan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meskipun ada akhirnya Wali Faqihlah yang memutuskan[16]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran menjadi representasi negara yang menggunakan sistem politik teokrasi dalam politik dan pemerintahannya. Kedua negara ini menerapkan teokrasi yang di dalamnya masih memegang teguh ajaran suatu agama yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bernegara. Nilai-nilai agama dan Hukum Ilahi menjadi pedoman kedua negara dalam menjalankan politik dan pemerintahannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teokrasi yang digunakan oleh Negara Kota Vatikan tergolong dalam monarki elektif teokratis. Sedangkan Republik Islam Iran cenderung pada sistem politik teokrasi jenis teodemokrasi. Kedua negara ini menjalankan politik dan pemerintahannya dengan sistem politik “Ketuhanan”, tetapi dengan modelnya masing masing. Dalam mengimplementasikan sistem politik ini, Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran menunjukkannya melalui sistem pemilihan kepala negara, eksistensi partai politik, dan decision making.
1. perbedaan dalam sistem pemilihan kepala negara di Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran terkait pemilih dan sistemnya yang keduanya memiliki peraturan maupun metodenya masing-masing. Hal ini ditunjukkan oleh Negara Kota Vatikan dengan konklafnya yang melibatkan para kardinal dari berbagai negara, dan kandidat seorang Paus tidak harus berkewarganegaraan Vatikan. Sedangkan Republik Islam Iran melakukan pemilihan seorang kepala negara dengan mempercayai sebuah dewan yang bernama Dewan Ahli yang notabenenya merupakan warga negara Iran untuk memilih kepala negaranya, serta yang menjadi Wali Faqih harus berkewarganegaraan Vatikan. Paus Negara Kota Vatikan dipilih oleh Dewan Kardinal dari berbagai negara. Ini merupakan suatu kesatuan dari pemeluk agama Katolik sedunia. Sedangkan Wali Faqih Republik Islam Iran dipilih oleh Majelis Ahli yang merupakan perangkat negara Republik Islam Iran sendiri.
2. Dalam hal ini Negara Kota Vatikan memang tidak memiliki partai politik, dan terkait politik dan pemerintahannya berada di tangan Paus dan Kuria Roma. Partai politik bukanlah menjadi sesuatu yang elemen penting dalam sebuah negara. Ini merupakan sebuah alasan juga dalam ketiadaan partai politik di Negara Kota Vatikan Partai politik di Republik Islam Iran masih sangat berpengaruh, terutama dalam pemilihat perangkat pemerintah, termasuk presiden
3. Dapat dikatakan bahwa di Negara Kota Vatikan, Paus langsung memutuskan kebijakan tanpa menunggu pertimbangan dari lembaga eksekutif legislatif, maupun yudikatif. Sedangkan di Republik Islam Iran, Wali Faqih hanya memberikan fatwa, dan melibatkan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meskipun ada akhirnya Wali Faqihlah yang memutuskan.
DAFTAR PUSTAKA
S. T, Kansil, Ilmu Negara (umum dan indonesia), Jakarta: Pradya Paramita, 2004.
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE Uin Syarif Hidayatullah, 2000
[1] Vatican City State, History, diambil dari http://www.vaticanstate.va/content/vaticanstate/en/stato-egoverno/storia/la-citta-del-vaticano-nel-tempo.html.diakses pada 22 Oktober 2022 pukul 13.25
[2] Ibid.
[3] The Iranian, The Iranian Revolution: King Pahlavi (the Shah) | The Pahlavi Monarchy Falls | Political Divisions, Cleric Power and Totalitarianism, diambil dari http://www.fsmitha.com/h2/ch29ir.html. diakses pada 22 Oktober 2022 pukul 13.27
[4] Mochtar Mas’oed, Colin MacAndrews. 1993. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
[5] Rizky, Alfionita, Pemikiran Politik Barat: Thomas Aquinas, 2013, diambil dari http://alfionita-rizkyfisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-117406Pemikiran%20Politik%20BaratPemikiran%20Politik%20Barat%20:%20Thomas%20Aquinas.html.diakses pada 22 Oktober 2022 pukul 13.39
[6] Ibid.
[7] Era Muslim, Khilafah, Teokrasi, dan Teo-demokrasi, 2017, diambil dari https://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/khilafahteokrasi-dan-teo-demokrasi.htm#.WTQJIdwlG00. diakses pada 22 Oktober 2022 pukul 13.42
[8] Markijar, 5 Unsur-unsur Negara (Menurut Konvensi Montevideo), 2017, diambil dari http://www.markijar.com/2017/2016-unsur-unsur-negaramenurut-konvensi.html. diakses pada 22 Oktober 2022 pukul 13.42
[9] Ibid.
[10] Collins, Michael. 2009. Vatikan: Menyingkap Rahasia Kota Suci. Erlangga. Hal. 168.
[11] Salamuddin dan Candiki Repantu. 2015. Teokrasi Kontemporer: Integrasi Teologidan Politik dalam Negara Islam. Medan: Perdana Publishing. Hal. 227-228
[12] Yan Olla, Paulinus. Spiritualitas Politik:Kesucian Politik dalam Perspektif Kristiani. Gramedia: Jakarta. Hal. 103
[13] Salamuddin dan Candiki Repantu. 2015. Teokrasi Kontemporer: Integrasi Teologidan Politik dalam Negara Islam. Medan: Perdana Publishing. Hal. 238
[14] Ibid.
[15] JWorldtimes, Political System of Iran, diambil darihttp://jworldtimes.com/jwt2015/magazinearchives/jwt2017/jun2017/political-system-of-iran/. diakses pada 22 Oktober 2022 pukul 14.14
[16] Yamani. 2002. Antara Al-Farabi dan Khomeini. Bandung: Mizan. Hal 127




