NEGARA DENGAN SISTEM PEMERINTAHAN BERDASARKAN AGAMA
Kata Pengantar
Pertama-tama kami panjatkan puja & Puji syukur atas rahmat & ridho Allah SWT, karena tanpa Rahmat & RidhoNya, kita tidak dapat menyelesaikan mekalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Eva Susanti, M.I.P Sembiring sekalu dosen pengampu Perbandingan Pemerintahan yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data data dalam pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang system pemerintahan yang berdasarkan agama.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen. Demi tercapainya makalah sempurna.
Baturaja, September 2022
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….……......i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….……….ii
BAB I PENDAHULUAN…………..………………………………………………….…….1
Latar belakang……………………..…………………………………………………..…..1
Rumusan masalah…………………..…………………………………………………..….2
Tujuan masalah……………………..…………………………………………………..….2
BAB II……………………………………………………………………………………..…3
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………..…3
Pengaruh agama dalam sistem pemerintahan……………………………………………..3
Arab Saudi…………………………......…………………………………………………..4
Iran…………………………………….......……………………………………………….7
Memastikan dalam sistem pemerintahan berdasarkan agar tidak terjadi diskriminasi....….9
Menjamin kebebasan beragama dan kebijakan non-diskriminasi……………………........9
Mempromosikan toleransi dan kerukunan antar agama…………………………….......…10
Menjamin keterwakilan minoritas agama di dalam pemerintahan agama…………….......10
BAB III……………………………………………………………………………………....12
PENUTUP…………………………………………………………………………………....12
Kesimpulan………………………………………………………………………………......12
Saran……………………………………………………………………………………....13
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..14
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistem pemerintahan adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara. Sistem pemerintahan berfungsi untuk mengatur dan mengelola negara sehingga dapat mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan oleh pemerintah dan masyarakatnya. Setiap negara memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, tergantung pada sejarah, budaya, dan kondisi politik masyarakatnya.
Sistem pemerintahan terdiri dari tiga elemen penting yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga elemen ini saling berhubungan dan saling melengkapi untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien. Namun, meskipun demikian, setiap sistem pemerintahan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang harus dipertimbangkan dalam menjalankan pemerintahan.
Melalui penjelasan tentang sistem pemerintahan, kita dapat memahami bagaimana negara diatur dan dijalankan oleh pemerintah. Selain itu, pengetahuan tentang sistem pemerintahan juga dapat membantu kita dalam mengkritisi dan mengevaluasi kinerja pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana agama mempengaruhi sistem pemerintahan di negara-negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama tertentu?
2. Bagaimana memastikan bahwa penerapan sistem pemerintahan agama tidak menimbulkan diskriminasi terhadap minoritas agama atau kelompok masyarakat lainnya?
Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh agama dalam sistem pemerintahan
2. Untuk mengetahui sistem pemerintahan agama tidak menimbulkan diskriminasi
BAB II PEMBAHASAN
PENGARUH AGAMA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN
Agama dapat mempengaruhi sistem pemerintahan di negara-negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama tertentu dengan cara memberikan pengaruh pada nilai, norma, dan budaya masyarakat yang dapat tercermin dalam kebijakan dan tindakan pemerintah. Berikut adalah beberapa contoh pengaruh agama terhadap sistem pemerintahan:
1. Pemimpin negara: Di beberapa negara, agama dapat menjadi faktor penting dalam pemilihan pemimpin negara atau kepala negara. Dalam sistem pemerintahan yang menganut prinsip demokrasi, kepentingan dan pandangan agama dapat mempengaruhi pola pemilihan umum.
2. Kebijakan publik: Agama dapat mempengaruhi kebijakan publik dan peraturan yang dihasilkan oleh pemerintah. Hal ini dapat terlihat pada negara-negara yang menganut hukum syariah, di mana agama Islam menjadi dasar dalam membuat kebijakan dan regulasi tertentu.
3. Pengambilan keputusan: Di beberapa negara, keputusan politik dan kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah dapat dipengaruhi oleh otoritas agama tertentu. Hal ini dapat terjadi pada negara yang menganut sistem teokrasi, di mana agama menjadi dasar utama dalam pengambilan keputusan.
Contoh pengaruh agama pada sistem pemerintahan dapat dilihat pada sistem pemerintahan Islam di negara seperti Arab Saudi dan Iran.
ARAB SAUDI
Arab Saudi mengadopsi sistem monarki absolut dengan Raja sebagai Kepala Pemerintahan dan Negara. Sistem Monarki (Kerajaan) berasal dari kata Mono yang artinya satu dan Archein yang artinya kekuasaan, sehingga Monarki dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh Raja atau Kaisar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sehingga Raja berperan sebagai aktor pengambil keputusan tunggal. Kerajaan Arab Saudi adalah Negara yang murni menggunakan hukum Islam sebagai landasan utama untuk membuat peraturan-peraturan dalam negerinya. Dilihat berdasarkan Undang-Undang Dasar yang dirilis pada tahun 1993 yakni berisi 83 prinsip-prinsip atau ayat yang menegaskan kembali dasar kerajaan yang telah berjalan sejak masa awal berdirinya kerajaan tersebut. Diantaranya tertuang pada Pasal pertama yang menyatakan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah Nabi merupakan konstitusi Kerajaan Arab Saudi. Kemudian, pada Pasal 5, sistem politik digambarkan sebagai sebuah kerajaan. UndangUndang Dasar juga menekankan betapa pentingnya nilai-nilai Islam untuk terus diterapkan. Pada Pasal 44 juga dipaparkan tiga kekuasaan negara, yaitu pengadilan atau lembaga hukum, eksekutif dan kekuasaan organisasional serta menyatakan bahwa Raja merupakan sumber utama pusat kekuasaan. Meskipun demikian, pada Pasal 46, pengadilan atau lembaga hukum dijelaskan sebagai kekuatan independen yang anggota-anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh surat keputusan dari Kerajaan. Hal yang sama juga berlaku pada wakil perdana menteri, menteri, deputi menteri dan pejabat senior. Tidak hanya itu, Undang-Undang Dasar juga menetapkan hak-hak yang dimiliki oleh Raja (Ministry of Foreign Affairs Saudi Arabia, 2011).
Raja Arab Saudi menduduki hampir semua posisi strategis dan penting dalam tampuk pemerintahan, mendominasi keluarga besar Al-Saud, menguasai tahta politik serta ekonomi Arab Saudi. Penguasa Arab Saudi (Raja) memiliki kecendrungan yang sangat kuat untuk membatasi dan mempersempit berlakunya nilai-nilai liberal dan demokratis, serta membatasi keterlibatan rakyatnya untuk masuk ke dalam arena politik. Kekuasaan politik amat terpusat pada Raja yang memegang berbagai jabatan sebagai berikut :
1. Kepala Dinasti Saud
2. Perdana Menteri
3. Kepala Eksekutif
4. Imam Keagamaan Tertinggi
5. Komandan Angkatan Bersenjata
6. Kepala Pengadilan (Jatmika, 2001).
Dengan mengamati kekuasaan yang ada pada raja di Arab Saudi, maka dapat dikatakan bahwa kerajaan Arab Saudi menekankan kembali pandangan Islam, yang mana antara Agama dan Negara tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan. Rakyat Arab Saudi menunjukan rasa solidaritas yang sangat besar dan mendukung penuh para pemimpin politik yaitu Raja yang membuat tuntutan serta melaksanakan kontrol penuh atas rakyat (Jatmika, 2001, hal. 158).
Dalam perkembangannya sistem politik dan struktur politik kerajaan Arab Saudi mengalami perubahan yang signifikan, yaitu di mana sebelumnya kerajaan ini menganut bentuk kekuasaan yang didalamnya dihiasi dan didominasi unsur keagamaan yang lebih bercorak pada tradisional primitif dan masih erat kaitannya dengan adat istiadat menjadi monarki absolut. Ditengah perubahan iklim sosial, ekonomi dan pendidikan yang sangat pesat ini, Arab Saudi tetap mempertahankan dan menjunjung tinggi otoritas keagamaan dan politik tradisionalnya. Hubungan keluarga tetap menjadi faktor utama dalam pemerintahan Arab Saudi. Kerajaan Arab Saudi masih menganut pola keterkaitan antara hubungan negara dan agama yang masih sangat kental untuk diterapkan. Namun di dalam perkembangan aktifitas politik baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Raja telah membentuk sebuah dewan untuk membantu tugasnya. Pemerintah dijalankan langsung oleh dewan keluarga yang bekerja secara konsesus. Jabatan di dalam dewan yang dibentuk Raja hanya dapat dimiliki oleh anggota keluarga kerajaan dan kepala suku yang nantinya akan menduduki kursi jabatan sebagai menteri dan administratif (Lapidus, 1999).
Unsur nepotisme tak bisa dihindarkan dan masih sangat kental disetiap urusan pemerintahan Arab Saudi. Hampir sebagian besar yang menduduki kursi-kursi penting di dalam pemerintahan adalah keluarga kerajaan atau golongan yang memiliki pengaruh, misalnya para pengusaha ataupun bangsawan. Nilai-nilai demokratis sama sekali tidak ditunjukan didalamnya. Namun satu hal yang sangat penting dalam sistem politik Arab Saudi yaitu komitmennya terhadap Islam. Masyarakat Saudi hampir tidak terpengaruh oleh nasionalisme dan sekulerisme dan penguasa Arab Saudi mengembangkan keabsahan domestik mereka dengan banyak memberikan perhatian kepada urusan agama dan memberlakukan moral Islam dengan sebaik-baiknya (Lapidus, 1999, hal. 187).
Sejak berdirinya kerajaan Arab Saudi pada tahun 1932 sampai sekarang, Arab Saudi telah dipimpin oleh tujuh orang Raja, yang mana dalam aturan pergantian Raja di Arab Saudi, Raja bisa dan akan digantikan apabila Raja pemegang tahta wafat. Jika dilihat dari sejarah kerajaan, baru satu kali terjadi penggulingan kekuasaan. Biasanya, Putra Mahkota yang telah dipersiapkan sebelumnya akan menggantikan Raja yang telah wafat. Namun, ada juga Raja yang menunjuk langsung wakil Putra Mahkota sebagai pengganti dirinya.
IRAN
Sistem pemerintahan yang di anut oleh Iran adalah sistem theocracy atau yang dikenal dengan sistem politik dan pemerintahan suatu negara yang diatur, diperintah, dan diarahkan oleh pemimpin spiritual berdasarkan keyakinan agama. Dan Iran telah menganut sistem ini sejak revolusi tahun 1979, kekuasaan tertinggi di bidang politik dan keagamaan di Iran dipegang oleh Leader of the Revolution atau lebih popular disebut sebagai Supreme Leader yang dipilih oleh sebuah majelis pakar yang beranggotakan ulama-ulama terkemuka.20 Pada tahun 1979 Iran mengadakan referendum untuk menentukan sistem pemerintahan Iran, dan hasil referendum adalah 98,2% rakyat Iran mendukung dibentuknya negara dengan sistem pemerintahan Wilayatul Faqih.
Kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran, berada ditangan Imam (pemimpin Agung dalam arti pemimpin spiritual bukan imam sebagaimana keyakinan umat syiah) atau dewan kepemimpinan (Syura-ye Rahbari). Hal ini memang sesuai dengan mazhab ajaran Syiah yang menerapkan prinsip imamah (keimaman) sebagai salah-satu ajaran utamanya. Prinsip pemerintahan oleh faqih (wilayatul Faqih) dan keutamaan hukum Islam di abadikan dalam konstitusi Iran. Pada saat yang sama konstitusi Republik Islam mempunyai pranata-pranata demokrasi konstitusi melengkapi sistem pemerintahan parlementer dengan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Namun, pengaruh agama pada sistem pemerintahan dapat juga bersifat kompleks dan bervariasi tergantung pada interpretasi agama yang dianut oleh masyarakat. Sebagai contoh, di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, meskipun sistem pemerintahan tidak secara eksplisit didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, nilai-nilai agama dapat mempengaruhi pembentukan kebijakan publik dan moralitas dalam masyarakat.
Pada saat yang sama, pengaruh agama dalam sistem pemerintahan di negara-negara mayoritas Muslim dapat memunculkan perdebatan tentang hak asasi manusia dan demokrasi. Beberapa orang berpendapat bahwa penerapan syariah Islam dalam sistem pemerintahan dapat menghambat kemajuan hak asasi manusia dan demokrasi. Misalnya, dalam beberapa negara, hukuman mati masih diterapkan untuk kejahatan seperti narkoba dan homoseksualitas, meskipun ini bertentangan dengan standar hak asasi manusia. Selain itu, dalam sistem pemerintahan negara mayoritas Muslim, terdapat kemungkinan bahwa keputusan politik dan hukum dibuat berdasarkan pertimbangan agama, bukan berdasarkan kepentingan nasional.
Namun, negara-negara yang memiliki mayoritas penduduk yang memeluk agama tertentu, namun bukan agama resmi mereka, juga dapat memengaruhi sistem pemerintahan mereka. Misalnya, di India, mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu, namun konstitusi India memandang semua agama dengan sama dan menganjurkan toleransi agama. Meskipun demikian, kekerasan antara kelompok agama terkadang terjadi di India dan seringkali mempengaruhi kebijakan pemerintah. Selain melalui undang-undang dan konstitusi, agama juga dapat memengaruhi sistem pemerintahan melalui partai politik. Di banyak negara, partai politik yang berbasis pada agama telah muncul dan menjadi penting dalam pengambilan keputusan politik. Misalnya, di Israel, partai politik Yahudi ortodoks memegang kendali atas beberapa kebijakan penting, seperti pernikahan dan perceraian. Di India, partai Bharatiya Janata yang berbasis pada agama Hindu telah memegang kekuasaan selama beberapa tahun terakhir.
MEMASTIKAN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN BERDASARKAN AGAR TIDAK TERJADI DISKRIMINASI
Penerapan sistem pemerintahan agama bisa menjadi perdebatan yang rumit karena ada risiko bahwa sistem ini bisa menimbulkan diskriminasi terhadap minoritas agama atau kelompok masyarakat lainnya.
Menjamin Kebebasan Beragama dan Kebijakan Non-Diskriminasi
Untuk memastikan bahwa penerapan sistem pemerintahan agama tidak menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu adalah dengan menjamin kebebasan beragama dan kebijakan non-diskriminasi. Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang diakui di banyak negara di seluruh dunia. Ini berarti bahwa setiap orang harus diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan agama mereka tanpa adanya tekanan dari pihak lain.
Kebebasan beragama juga mencakup hak untuk tidak beragama atau mengubah agama. Kebijakan non-diskriminasi harus diterapkan dalam semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam sistem pemerintahan. Kebijakan ini harus memastikan bahwa tidak ada diskriminasi yang dilakukan berdasarkan agama, ras, jenis kelamin, atau orientasi seksual.
Dalam sistem pemerintahan agama, kebebasan beragama dan kebijakan non-diskriminasi dapat diterapkan dengan memastikan bahwa semua agama diakui secara resmi dan diberikan hak yang sama dalam pemerintahan. Tidak boleh ada preferensi atau perlakuan yang tidak adil terhadap agama tertentu. Selain itu, semua warga negara harus memiliki hak yang sama untuk mengakses layanan publik dan kebijakan pemerintah tanpa diskriminasi berdasarkan agama mereka.
Mempromosikan Toleransi dan Kerukunan Antar Agama
Untuk memastikan bahwa penerapan sistem pemerintahan agama tidak menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat tertentu adalah dengan mempromosikan toleransi dan kerukunan antar agama. Toleransi antar agama adalah sikap menghargai perbedaan agama, keyakinan, dan praktik keagamaan orang lain tanpa merendahkan atau mencampur-adukkan. Kerukunan antar agama adalah kesepakatan bersama untuk hidup secara damai dan saling menghargai antara berbagai agama dan kelompok masyarakat.
Menjamin Keterwakilan Minoritas Agama di Dalam Pemerintahan Agama
Hal ini penting dilakukan agar minoritas agama dapat diakui sebagai bagian dari masyarakat dan mempunyai hak yang sama dengan mayoritas agama. Keterwakilan minoritas agama di dalam pemerintahan agama dapat diwujudkan dengan cara memberikan kesempatan yang sama untuk menjadi anggota pemerintahan agama. Misalnya, dengan memberikan kuota khusus bagi minoritas agama untuk menjadi anggota pemerintahan agama. Dengan keterwakilan yang memadai, maka kepentingan dan pandangan minoritas agama dapat diwakili dengan baik.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Sistem pemerintahan berdasarkan agama dapat memiliki kelebihan dan kelemahan tergantung pada implementasi dan praktiknya. Di satu sisi, pemerintahan yang didasarkan pada agama dapat memberikan dasar moral yang kuat dan mempromosikan nilai-nilai yang dianggap penting oleh agama tersebut. Hal ini dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih etis dan bertanggung jawab.
Namun di sisi lain, pemerintahan yang didasarkan pada agama dapat memicu konflik antara kelompok agama yang berbeda dan bahkan menghasilkan diskriminasi terhadap minoritas agama. Selain itu, implementasi yang tidak tepat dapat mengekang kebebasan beragama dan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, implementasi sistem pemerintahan berdasarkan agama perlu dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan prinsip-prinsip dasar seperti keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan keberagaman dan kepentingan semua kelompok masyarakat dalam negara tersebut.
SARAN
Sebagai sebuah sistem pemerintahan, sistem berdasarkan agama harus mengutamakan nilai-nilai dasar seperti keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan keberagaman dan kepentingan semua kelompok masyarakat dalam negara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anjar Nugroho, 2016. “Fleksibilitas Ideologi Politik Syi’ah Dalam Sistem Politik Iran” Thesis. Program Magister Ilmu Hubungan Internasional Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Ashari, Khasan. (2015). Kamus Hubungan INternasional. Bandung : Nuansa Cendekia
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/13698/BAB%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/31459/BAB%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y





0 comments:
Post a Comment