Keberadaan suatu organisasi, lembaga, atau institusi dalam perspektif teori organisasi dan manajemen, sangat ditentukan oleh dua hal, yakni keberdayaan sistemik dan dukungan sumber daya manusia (SDM). Dalam konteks ini, penguatan dan pengembangan kapasitas anggota DPRD suatu keharusan. Keberhasilan atau kegagalan demokrasi perwakilan bisa ditunjukkan melalui kapasitas politis dan teknokratis serta efektivitas anggota dewan menjalankan fungsinya.
Sasaran penguatan dan pengembangan kapasitas anggota dewan selama ini telah dilakukan, yakni setelah aktivitas partai politik benar-benar telah menjadi anggota dewan. Padahal sejatinya hal itu dilakukan oleh partai politik jauh sebelum mereka ditetapkan sebagai caleg. Misalnya, para bakal caleg dibekali pengetahuan yang mendalam tentang tupoksi anggota dewan, setelah jadi nanti siapa atau institusi apa saja yang akan menjadi mitra kerjanya, ditempatkan di komisi apa dan lain sebagainya. Dengan begitu, mereka diharapkan akan mampu mengimbangi “kekuatan” eksekutif, yang dari segi dana, SDM, maupun peralatan – jika , maupun peralatan – jika tidak mau dikatakan lebih baik sangat memadai.
Sekadar perbandingan tanpa merendahkan institusi maupun anggota dewan, untuk menduduki jabatan kepala dinas di instansi pemerintah harus melalui berbagai pelatihanekadar perbandingan tanpa merendahkan institusi maupun anggota dewan, untuk menduduki jabatan kepala dinas di instansi pemerintah harus melalui berbagai pelatihan, pengalaman, dan yang pasti golongan/eselon sangat menetukan, dan rata-rata kepala dinas telah menjadi PNS aktif di atas 15 tahun. Dengan kata lain, pengalaman teknis dan jenjang karier mereka jelas dan terukur.
Sementara anggota dewan, (apalagi baru menjadi anggota periode pertama) jabatannya paling lama dua periode, tentu agak sedikit tegagau berhadapan dengan mitra kerja yang secara teknis lebih “menguasai medan”. Di sinilah kualitas dan kapabilitas politik para anggota dewan dipertaruhkan. Jika tidak, maka kewenangan yang dimiliki para anggota DPRD lebih banyak digunakan sebagai bargaining position atau tawar menawar politik dengan eksekutif daripada menjalankan fungsi legislatif.
Menurut Purwo Santoso (2006), “... proses policy making di tingkat lokal selama ini didominasi jajaran eksekutif, dengan keterampilan dan penguasaan teknikalitas penyelenggaraan pemerintahan, justru eksekutiflah yang mengendalikan lembaga legislatif. Tidak jarang, agenda yang diusung parlemen lokal tidak lebih dari agenda eksekutif. Dalam situasi ini, parlemen sebagai lembaga perumusan dan pengawasan kebijakan publik sudah kewalahan (overloaded) dengan persoalan operasional, utamanya merespon usulan-usulan kebijakan jajaran eksekutif. Parlemen bahkan terjebak dalam urusan birokrasi legislasi dan kehabisan energi untuk menjalankan fungsi yang lain”.
Oleh karena itu, pembekalan para bakal caleg oleh partai politik harus dilakukan secara komprehensif, menyeluruh, berkala, terencana dan terkelola secara baik. Fungsi rekruitmen parpol harus juga dimaknai dalam perspektif ini. Bukankah salah satu fungsi parpol adalah menempatkan kader-kader terbaiknya untuk didudukkan pada jabatan di eksekutif dan legislatif? Yang terjadi saat ini justru para bakal caleg hanya dibekali sebatas bagaimana memenangkan pileg di dapilnya masing-masing. Hal ini tentu tidak salah, karena memang hasil akhir dari pertarungan parpol adalah bagaimana mereka memperoleh dukungan atau simpati publik pada saat pemilu dilaksanakan melalui visi misi, platform maupun melalui kandidat yang mereka tawarkan.
Kurang maksimalnya fungsi yang dijalankan DPRD, baik secara personal maupun institusi serta perilaku koruptif dari beberapa oknum anggota dewan di beberapa tempat, dan adanya tuntutan yang berlebihan mengenai fasilitas yang diterima telah menyebabkan masyarakat memberikan penilaian negatif. DPRD pun diplesetkan menjadi “Datang Penting Rapat (Dapat)Duit”. Menuntut adanya perbaikan fasilitas maupun tunjangan adalah hal biasa. Akan menjadi hal yang luar biasa jika tuntutan tersebut mengabaikan asas kepatutan dan terjebak pada pragmatisme politik jangka pendek. Pragmatisme politik itu sesungguhnya sangat multi pace alias banyak wajah dengan beragam dalih, mulai dari perilaku koruptif, dalih “kunjungan kerja”, “perbaikan fasilitas/tunjangan”, dsb.
Pragmatisme politik anggota dewan tidak berdiri sendiri dan karenanya tidak adil jika sepenuhnya dituding dan dipersalahkan kepada mereka saja. Partai politik asal anggota dewan dan rakyat juga punya saham membentuk perilaku anggota dewan menjadi pragmatis. Karenanya biaya politik pun menjadi tinggi, terutama menjelang pemilu. Dalam konteks ini anggota dewan layaknya “Anjungan Tunai Mandiri” (ATM) di hadapan partainya sendiri terlebih di hadapan konstituennya.
Partai menuntut setoran wajib bulanan, belum lagi setoran bersifat insidentil pada acara-acara yang dihelat partai. Belum lagi tumpukan proposal di meja fraksi, kantor partai, maupun rumah pribadi yang meminta sumbangan kepada anggota dewan dari para konstituennya, terutama menjelang Idul Fitri, Natal, Tahun Baru, 17 Agustus, Tahun ajaran baru bahkan keluarga sakit pun dimintakan biaya pengobatan kepada mereka. Fenomena inilah yang menjebak pragmatisme politik anggota dewan. Di luar itu barangkali lebih disebabkan karena memang kredibilitas dan integritas moral anggota dewan yang kurang terjaga.
Koran ini (Senin, 20/5/2013) memberitakan bahwa tunjangan perumahan bagi 35 orang anggota DPRD OKU tahun ini mencapai 4,2 milyar, yakni Rp 12 juta/bulan/orang untuk unsur pimpinan, dan Rp 10 juta/bulan/orang untuk anggota. Jumlah angka yang sangat fantastis dan luar biasa untuk ukuran hidup di daerah seperti di OKU ini. Sekalipun bukan termasuk perilaku koruptif, anggaran perumahan sebesar itu tentu mengabaikan asas kepatutan sekaligus tidak sensitif terhadap rasa keadilan dan kesejahteraan rakyat. Uang tunjangan itu adalah uang rakyat yang bersumber dari APBD, yang seharusnya digunakan secara efektif dan efisien oleh para penyelenggara pemerintahan di daerah, termasuk DPRD demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat OKU.
Bukankah dulu sebelum mereka duduk di kursi DPRD, saat ajang kampanye pileg 2009, umumnya mereka menjajikan akan memperjuangkan aspirasi rakyat atau memperjuangkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik? Semoga saja rakyat menjeang pemilu legislatif 2014 nanti tidak akan mendendangkan lagu lawas Dinn Mariana yang sempat hits tahun 80-an, yang penggalan syairnya “... mana janjimu...mana mana...janjimu palsu...janjimu palsu”. Semoga!






0 comments:
Post a Comment